Suara
adzan magrib yang membawa kesan khusus. Ramainya orang yang berceloteh menyambut
saat berbuka puasa Gaung do’a yang menerpa dinding rumah disaat bersahur. Nuansa
taraweh yang memberikan kesan dalam khusyuknya berjemaa’ah, dan genangan air
mata yang tumpah dalam kontemlasi ma’rifat yang dahsyat karena mengenang dosa.
Sungguh sebuah diorama religi yang paling menyentuh setiap pribadi muslim.
Bulan
yang memberikan berkah tak berbilang itu, kini mau berlalu, ah... betapa hamba
rindu kami ingin berenang mengarungi samudera hikmah yang dibawamu wahai bulan
penuh berkah. Adakah kami masih bisa berjumpa denganmu wahai bulan pengampunan?
Kenangan
Rhamadhan membawa dampak unik bagi setiap peribadi yang berpuasa, menanamkan
rasa optimisme luar biasa kepada setiap hamba untuk merengkuh sebelas bulan ke
depan, seraya membawa panji-panji keyakinan yang semakin sarat dengan semangat
tauhid. Ramadhan telah menggembleng diri kita semua, seakan-akan seluruh kaum
musliniin dan muslimat menjadi santri dan pesantren alam yang maha akbar Penuh
khusyuk, merindu dan syahdu! Lebih dari itu, Rhamadhan seharusnya membentuk
pribadi kita sebagai mansuia yang tegar, merdeka dan sensitive akan rasa
keadilan.
Setiap peribadi muslim yang telah mencicipi nikmatnya
Ramadhan, pastilah terasa dalam butir-butir darahnya sebuah nilai kecintaannya
yang mendalam akan harakah Islamiyah. Nilai perjuangan yang menghentak dan
merebut seluruh nuraninya untuk tampil menyongsong masa depan sebagai syuhada
‘alan naass dan sekaligus memasuki barisan jundullah, barisan
tentara Allah yang dengan gagah berani mampu menyatakan kebenaran dengan tuntas
as the fighter of the truth!
Ramadhan bukan hanya sekedar bentangan serial dari
perilaku ibadah formal, tetapi kita sangat yakin, bahwa Ramadhan telah mencelup
diri kita dengan sibghah Ilahiyah, sehingga kita terlahir sebagai
manusia yang baru dan mampu menyatakan keislaman kita secara aktual, memberi
arti dan sekaligus mampu menjadi piibadi yang diperhitungkan sesuai misi
hidupnya untuk memberikan citra rasa pada alam semesta, rahmatan lii alamin.
Setelah satu bulan digembleng dalam kawah
candradimuka, maka kinilah saatnya untuk membuktikan kepiawaian diri
masing-masing sebagai jundullah, barisan Allah yang mampu mengangkat
tegak wajah batinnya untuk menegakkan kebenaran. Semangat yang lembek dan
melempem telah tersingkir. Jiwa pengecut, kerdil dan banci telah mati dan terkubur,
berganti dengan semangat samudera yang menggelegar menghempaskan seluruh
perilaku kebatilan dan menggetarkan para kafirin yang mencoba menghujat dan
menghinakan Islam.
Mana mungkin jiwa kita terpuruk dalam sikap
pengecut, sedangkan musuh-musuh Islam terus bergentayangan di panggung dunia.
Mana mungkin kita rela melepaskan generasi anak cucu kita pada budaya jahiliyah
yang nista. Sedangkan Allah telah menunjuk kita semua sebagai ‘ibadur rahman,
hamba Allah yang harus tampil sebagai pembela.
Wisuda Ramadhan.
Adalah Rasulullah telah menyatakan bahwa mereka
yang berpuasa karena iman dan penuh tanggung jawab, akan diampuni dosa-dosanya,
dan mereka kembali pada fitrah seperti bayi yang dilahirkan ibunya. Dengan. pernyataan
ini, sesungguhnya para shoimin dan shoimat telah diwisuda sebagai manusia yang
bersih, dan dadanya penuh dengan semangat Ilahiyah yang akan
dimanifestasikaimya dalam semangat jihad.
Jihad adalah mahkotanya umat Islam. Dan selama umat
Islam meninggalkan makna dan semangat jihad, maka pada dasarnya dia telah
menistakan dan menghinakan dirinya sendiri, Naudzubillah. Mana mungkin
kita melepaskan mahkota jihad, sedangkan firman Allah yang dinukilkan dalam surah
Al Baqarah: 120, khususnya tentang kebencian orang-orang Yahudi tidak pernah
akan terhapus. Belum lagi pupus ingatan kita akan kekejaman di Rohingya tragedi
itu diulangi dan terus diulangi apabila umat Islam kehilangan semangat ukhuwah
yang berdimensi mternasional untuk saling membela sesama saudaranya.
Darah akan terus mengalir.
Selama umat Islam tidak mengambil kembali ruh
jihad dan menanggalkan mahkota dirinya sebagai mujahid jundullah, maka
selama itu pulalah kita akan menyaksikan darah yang terus mengalir dan tubuh
suci kaum muslimur dan muslimat. Orang-orang kafir yang dengan sistimatis
membantai dan menghinakan sesama muslim di Rohingnya, kita saksikan dengan
ketidak berdayaan. Seakan-akan kita terkesima dan kehilangan jalan buntu untuk menolongnya.
Seluruh kaum muslimin, bahkan para pemimpinnya
sekalipun, apakah dia yang mengaku dari kelompok lain yang mengaku dirinya
sebagai generasi penerus Islam, apakah kelompok Sunni yang melaungkan kecintaan
kepada para sahabat, bahkan siapapun kaum muslimin yang mengaku non sekterian
semuanya jalan di tempat seakan kehilangan arah untuk melawan kebatilan tersebut
yang dengan sangat nyata membantai tubuh demi tubuh sesama saudaranya. Ketika
Palestana dibantai, ketika Rohingnya dinista Konyolnya kita semua asyik
terperangkap dalam diskusi-diskusi khilafiyah, soal furu dan mathhab
yang tidak habis-habisnya. Astaghfirullah!
Apa makna takbir.
Ramadhan sebentar lagi berlalu, dan kita di
tingkah suara takbir menyongsong kemanangan dalam syukuran Idul Fitri. Tetapi
resapkanlah wahai saudaraku, setiap pembuka khotbah para khatib yang berdiri di
panggung podium. Tuhan Maha Besar, Tiada Tuhan Kecuali Engkau, tiada sekutu
bagi-Mu, yang akan menolong hamba-hambanya, para tentara Allah yang senantiasa
ingin mensucikan agama Allah, walaupun ditentang orang-orang kafir sekalipun.
Allahu Akbar...Allahu Akbar?
Sayang, do’a iftitah dalam khotbah para
khatib itu tidak pernah sedikitpun dimengerti apalagi mampu menggedor dhamir
suci kaum muslimin. Mereka melaksanakan shalat Idul Fitri tanpa membawa kesan
jihad sedikitpun. Kalau Ramadhan tidak mampu membentuk semangat jihad. Kalau
para khatib dan shalat Idul Fitri hanya sekedar seremonial tanpa goresan yang
menyentuh gairah perjuangan. Lantas bahasa apa lagi yang harus kita pakai untuk
menggugah hati kita semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar