Tak terasa Ramadhan tiba.tiba
saja hadir di hadapan kita. Kehadiran
bulan mulia ini selalu menyapa kita dengan pesona yang berbeda-beda tiap
tahunnya. Terkadang Ramadhan membuat kita merasa malu, alangkah bebalnya diri kita
yang tidak bisa meraih ‘sesuatu’ dan kesempatan yang penuh berkah. Kita kadang-kadang
sepenti kanak-kanak yang menunggui dan merindukan sesuatu, namun ketika sesuatu
itu tampak dan hadir dalam jangkauannya, ia hanya bisa mempermainkannya, tidak
tertarik lagi, tidak berarti, dan ia tidak bisa melihat nilai dan yang ditunggu
itu.
Seperti itu juga kebanyakan kita. Siapa yang tidak rindu dengan Ramadhan,
siapa yang tidak mengharapkan bulan suci ini datang, tapi ketika hadir, ia
tidak bisa menghormati bulan ini, tidak bisa meraih kemulian yang akan
diberikan bulan ini, malah lebih dahsyat menistakannya. Dalam riwayat
disebutkan betapa banyak orang yang berpuasa di bulan Ramadahan tapi ia tidak
mendapatkan apa-apa dan puasanya, Sebab orang itu berpuasa sekedar memenuhi
kewajiban saja, dan ia melihat puasa sebagai beban syaniat bukan petunjuk
syaniat.
Puasa bagi orang-orang seperti itu hanya menjadi semacam ritual belaka yang
tidak mengandung maknawiyat dan tidak membangun menjadi manusia baru.
Puasa bagi dirinya tidak mewariskan apapun. Padahal dalam sebuah hadis mi’raj
disebutkan, “Wahai Tuhan apa itu yang diwariskan dan puasa?” Tuhan mengatakan
puasa itu mewariskan hikmah mewariskan ma’rifat dan ma’rifat mewariskan
prinsip, Kalau seorang hamba memiliki prinsip (keyakinan) ia tidak peduli
apakah dalam keadaan menderita atau dalam kemudahan. Pernahkan kita mendapatkan
hikmat, maknifat dan keyakinan dan bulan Ramadhan? ini tentu pertanyaan yang sulit
dijawab lantanan paradigma kita tidak pernah berubah dalam memandang puasa
Ramadhan. Dengan paradigma lama itu, maka hasil atau sesuatu yang kita raih,
temukan dan serap juga tidak beranjak dan itu-itu juga. Panadigma lama kita
biasanya mengajarkan bahwa puasa di bulan Ramadhan adalah kegiatan suci yang
tidaklah sulit untuk mengilmuinya dan melaksanakannya, Ramadhan adalah
rangkaian ibadah yang hanya menekankan pada aspek perut yaitu ketahanan lapar
dan bukan ketahanan nafsu indra lahir dan batin. Elemen perut itulah
yang menjadi fokus perhatian besar kita, sehingga ketika kita bisa menahan
tidak makan dan fajar sampai magrib kita telah melaksanakan ganis besar atau
inti dan puasa itu.
Kita tidak memandang hal-hal seperti pengendalian diri, pengekangan nafsu
mata, telinga, hasud, dendam, tidak ikhlas, riya, syirik sebagai hal yang
fundamental di bulan puasa tersebut. Manusia seperti itu akan bisa melaksanakan
puasa perutnya, tapi dalam waktu yang sama ia tidak merasa salah mengobral mata
dan memandang yang diharamkan syariat. Ia membiarkan hatinya dikerubuti penyakit-penyakit
hati, melepaskan kendali indra-indra lainnya untuk berbuat sebebas mungkin. Ia
tidak peduli apakah jiwanya dikuasai apapun, ia bukakan pintu-pintu jiwanya
supaya disergap dan diserang segala kotoran. Ta tidak pernah menyadari
kata-kata yang mengatakan, “Puasa jiwa atas kelezatan dunia, itulah puasa yang
paling bermanfaat.”
Puasa Ramadhan tidaklah sekedar memotivasi muslim untuk menahan diri dan
makan dan minum. Puasa Ramadhan tidak hanya menyuruh kita mempenhatikan aspek perut
dan makanan saja, tapi ia juga melatih kita supaya bisa menahan, mengekang dan
mengendalikan dan segala dorongan keinginan hawa nafsu. Bukankah tujuan dan
puasa itu sendiri dalam surat al-Baqarah ayat 183 adalah bertakwa dan bukan
sekedan membersihkan perut.
Lalu ilmu apa yang paling tepat untuk bisa memenuhi panggilan Tuhan ini?.
Apakah ilmu secana formal tentang hukum-hukum puasa dan segalanya? ilmu formal
sangat diperlukan tetapi itu hanya sebagian dan ilmu saja. seringkali manusia
mengangap mudah memasuki Ramadhan ini tanpa pensiapan ilmu. Padahal ciri-ciri
ilmu menurut Nabi dalam kitab at- Targhth wa Tathib adalah ‘rahmat tuhan
atasnya semakin bertambah.’ Kalau kita memang memiliki ilmu maka rahmat tuhan
akan semakin melimpah kepada kita. Tetapi bukan ilmu yang sekedar pengetahuan
umum atau lawan dan ketidaktahuan, karena ilmu ini belum tentu mendatangkan
rahmat tuhan, apalagi kalau niat dan tujuan dan ilmu itu hanya untuk
kepentingan ego, nafsu dan hal-hal yang terlarang.
Ilmu yang dihajatkan untuk memasuki Ramadhan adalah ilmu yang melampaui
pengetahuan tentang tata cara bagaimana sah melaksanan puasa secara formal. Ia
adalah ilmu yang bisa menjaga pemiliknya untuk mengetahui bagaimana ia bisa
melaksanan puasa ini sah secara spiritual, benar selaras dengan tujuan puasa
itu sendiri. Ilmu seperti ini adalah pengetahuan dan tuhan, yang diserap oleh
hati yang suci sehingga selalu abadi menempel dalam memori, hati dan tindakan.
Perhitungannya adalah antara dirinya dengan tuhan, bukan antara diri dengan
jebakan-jebakan nafsu. Karena itu imam Shadiq mengatakan, ‘Ilmu itu disertai
dengan amal, siapa yang berilmu, ia beramal dan siapa yang beramal ia berilmu,”
Kalau ia berilmu tapi tidak beramal itu bukan ilmu, dan juga sebaliknya kalau
ia beramal tapi tidak berilmu, ia tidak beramal,
Berikutnya yang menjadikan puasa Ramadhan menjadi acara biasa-biasa saja
karena kita tidak sungguh-sungguh berpikir bahwa itu adalah sebuah kesempatan
besar, momen langka yang tidak pernah datang dua kali. Tiap tahun Ramadhan
membawa pesan baru dan kesempatan emas bagi manusia. Nabi saw mengatakan,
“Kalau si hamba tahu apa yang ada dalam bulan itu ia ingin bulan itu lamanya
setahun.” Salah satu tanda bahwa Ramadhan bukan bulan istimewa bagi kita ialah
kita tidak mempersiapkan diri untuk memasukinya. Padahal banyak anjuran dan
Nabi saw yang menyuruh kita memasuki bulan Ramadhan dengan meniti dulu
bulan-bulan Rajab, Sya’ban dengan amalan-amalan khusus.
Biasanya satu,dua hari atau paling lama seminggu, kita baru mempersiapkan diri
untuk memasuki bulan penuh berkah ini. Itupun hanyalah persiapan dan
pengetahuan tentang awal bulan Ramadhan dan akhirnya. Rasulullah saw pernah
berkhutbah, “Wahai manusia telah menjemput kalian bulan Allah yang mengandung
keberkatan, rahmat dan magfirah. Bulan itu bagi Allah adalah bulan yang paling
utama, hari-harinya paling bernilai, malam-malamnya paling bernilai,
waktu-waktunya paling bernilai, di bulan itu kalian diundang ke jamuan Allah
dan kalian dijadikan kehormatan Allah, napas-napas kalian tasbih, tidur kalian
ibadah dan amal-amal kalian diterima dan doa kalian dikabulkan.”
Sungguh Tuhan telah menarik hati hamba-hambanya agar memperhatikan dan
mengapresiasi bulan suci rhamadhan tersebut dengan segala daya tarik maknawi
dan pahala. Tetapi mengapa pula manusia tetap acuh tak acuk dan tak pernah
melihat pesan misterius dan Tuhan. Padahal bulan ini bisa merevolusi manusia;
bulan mi bisa membangun kehidupan baru kita; bulan mi bisa mengubah kim; bulan ini
bisa membahagian kita; bulan ini bisa menyelamatkan perahu kehidupan kita;
bulan ini bisa menjadi kesempatan untuk memperbaiki diri, menambal kesalahan;
kegagalan dan menghidupkan kembali manusia dengan kehidupan yang sebenarnya.
Tuhan tahu bahwa dalam setahun sekali manusia perlu melihat ke dalam. Perlu
mengevaluasi perjalanan hidup. Perlu melihat dengan cermat, cerah dan jernih
memandang segala romantika hidup. Sebelas bulan Tuhan membebaskan kita untuk
bergumul dengan kehidupan, maka sediakanlah waktu dalam sebulan untuk mengisi
ruhani dengan amal-amal saleh di bulan suci ini. Manusia memerlukan persiapan
mental dan spiritual untuk memasuki kehidupan 11 bulan pertahunnya dan itu
disediakan oleh bulan Ramadhan. Sesungguhnya bulan Ramadhan adalah bulan
penggodokan mental dan spiritual. Walaupun temponya singkat, sebulan, tapi
kalau berkualitas ia bisa meningkatkan spiritual manusianya menjadi bertakwa.
Kita tahu, salah satu modal besar untuk memasuki kehidupan adalah takwa. Tuhan tidak berdusta dengan firmannya
bahwa puasa itu supaya kalian menjadi manusia bertakwa. Takwa menurut imam Ali
adalah puncak akhlak. Jadi bagi yang bertakwa tidak lagi memiliki masalah
dengan akhlaknya dan seorang yang bertakwa sudah pasti akhlaknya baik. Dalam
kesempatan lain dikatakan bahwa, “Siapa yang bertakwa, Allah akan menjaganya.”
Akhirnya, ujung dan puasa di bulan Ramadhan adalah suatu hasil, nilai atau
pencapaian suatu posisi yang sangat luhur. Untuk meraih itu jelas tidak bisa
dengan usaha ala kadar atau usaha seadanya. Hasil itu adalah konsekuensi dan amal-amal
lahir-batin, jiwa dan raga, maksimalitas dan kedisiplinan syariat yang utuh.
Sebuah hasil dan nilai yang besar tentu memerlukan kerja besar, nilai yang
terkandung dalam takwa itu sungguh tak ternilai harganya. Dalam kitab Ghurar
a1-Hikam disebutkan bahwa, “Takwa kepada Allah itu adalah ohat bagi
penyakit hati kalian; mata bagi hati-hati kalian yang buta, penawar bagi
penyakit jasad-jasad kalian; penyembuh bagi keruwetan dada kalian; pembersih
bagi kekotoran jiwa kalian; dan penerang bagi kegelapan mata hati kalian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar