Me & My Imagination

Tanpa imajinasi saya hanya barang mati, tanpa imajinasi dunia saya kecil

dengan imajinasi saya bisa terbang, melampaui diri, melampaui kini, melampaui disini

dengan imajinasi saya jadikan tiada menjadi ada

Ilmu pengetahuan adalah gudang penyimpan hasil imajinasi

Sedang imajinasi adalah mesin cetak ilmu pengetahuan

Minggu, 04 November 2012

The Inspiring Teachers


Anda sudah membaca Laskar Pelangi, novel karangan Andrea Hirata? Salah satu contoh the inspiring teachers akan Anda temukan di novel best seller ini. Mengapa? Karena menurut pengakuan sang penulisnya, novel ini ditulis untuk sang guru tercinta. Karena guru tersebut mampu mentransfer tidak saja ilmu-ilmu akademik tapi juga ilmu kehidupan. Karena guru tersebut mampu memuaskan tidak saja dahaga anak akan ilmu pengetahuan tapi juga cinta dan kasih sayang, membasahi syaraf-syaraf otak, rasa dan ruhaninya. Karena guru tersebut mendedikasikan dirinya tanpa pamrih, meletakkan pondasi bagi tumbuhnya mimpi-mimpi dan memberikan kekuatan untuk meraihnya. Karena guru tersebut telah menginspirasi hidupnya.

Lalu bagaimana dengan kita? Sudah mampukah diri kita menjadi inspirasi anak didik kita? Ada dua kata kunci untuk menjawab pertanyaan itu. Pertama, kompetensi. Bagaimana guru bisa menginspirasi anak didiknya jika kompetensinya masih dipertanyakan? Guru harus mengoptimalkan kompetensinya, baik itu kompetensi akademik maupun pedagogiknya.

Salah satu cara untuk mengoptimalkan kompetensi guru adalah belajar. Guru harus menjadi manusia pembelajar, penganut paham long life education. Dengan demikian, ilmunya tidak akan stagnan. Ia akan berkembang seiring perkembangan waktu dan akan selalu up to date. Selain itu, guru harus benar-benar memahami realitas individual difference setiap anak didiknya. Bahwa setiap anak itu unik, masing-masing mereka mempunyai kemampuan yang berbeda baik itu kemampuan fisik, mental, intelektual, dan spiritual sehingga cara guru berinteraksi dengan mereka pun harusnya berbeda. Kompetensi seperti ini juga harus diasah, ia tidak boleh berhenti ketika kita, guru telah menyelesaikan pendidikan kita.

Pemerintah sendiri telah menggencarkan program sertifikasi untuk meningkatkan kompetensi guru. Sayangnya, masih banyak di antara kita, guru-guru yang menganggap program ini hanya berkaitan dengan uang, tunjangan, sehingga berlomba-lomba mengumpulkan sertifikat dan bukan ilmu yang diperoleh dalam sebuah kegiatan.

Maka tidak heran jika kemudian sertifikat menjadi komoditi bagi orang-orang yang membaca peluang. Seminar sertifikasi pun menjamur dengan pengelolaan yang tidak profesional, kasus jual beli sertifikat, dan sertifikat palsu untuk menyebut beberapa. Padahal, esensi sebenarnya program ini begitu mulia, yakni bagaimana meningkatkan kompetensi guru sehingga berimbas pada peningkatan kualitas pendidikan di negara kita.

Kedua, komitmen. Selain berkompetensi optimal, guru dituntut memiliki komitmen yang tinggi terhadap pendidikan. Seorang guru bukan hanya pengajar tapi ia juga pendidik. Ia tidak hanya mentransfer ilmu tapi juga nilai-nilai. Justru transformasi nilai inilah bagian terpenting dalam pendidikan. Ia akan dibawa anak sampai dewasa. Bahkan ketika ia menjadi pemimpin, ia akan membawa nilai-nilai yang diwariskan sang guru pada mereka.

Bagaimana guru mengubah prilaku anak dari yang tidak tahu menjadi tahu. dari yang berprilaku buruk menjadi lebih baik, untuk menyebut beberapa. Maka dibutuhkan jiwa yang benar-benar memahami arti pendidikan itu sendiri, ikhlas tanpa batas. Jadi, setiap tutur kata yang keluar dari lisannya adalah mutiara, dan setiap tindak-tanduknya adalah teladan. Guru seperti inilah yang mampu menginspirasi siswanya.

Sabtu, 18 Agustus 2012

Semangat Jihad Setelah Rhamadhan


Suara adzan magrib yang membawa kesan khusus. Ramainya orang yang berceloteh menyambut saat berbuka puasa Gaung do’a yang menerpa dinding rumah disaat bersahur. Nuansa taraweh yang memberikan kesan dalam khusyuknya berjemaa’ah, dan genangan air mata yang tumpah dalam kontemlasi ma’rifat yang dahsyat karena mengenang dosa. Sungguh sebuah diorama religi yang paling menyentuh setiap pribadi muslim.

Bulan yang memberikan berkah tak berbilang itu, kini mau berlalu, ah... betapa hamba rindu kami ingin berenang mengarungi samudera hikmah yang dibawamu wahai bulan penuh berkah. Adakah kami masih bisa berjumpa denganmu wahai bulan pengampunan?

Kenangan Rhamadhan membawa dampak unik bagi setiap peribadi yang berpuasa, menanamkan rasa optimisme luar biasa kepada setiap hamba untuk merengkuh sebelas bulan ke depan, seraya membawa panji-panji keyakinan yang semakin sarat dengan semangat tauhid. Ramadhan telah menggembleng diri kita semua, seakan-akan seluruh kaum musliniin dan muslimat menjadi santri dan pesantren alam yang maha akbar Penuh khusyuk, merindu dan syahdu! Lebih dari itu, Rhamadhan seharusnya membentuk pribadi kita sebagai mansuia yang tegar, merdeka dan sensitive akan rasa keadilan.

Setiap peribadi muslim yang telah mencicipi nikmatnya Ramadhan, pastilah terasa dalam butir-butir darahnya sebuah nilai kecintaannya yang mendalam akan harakah Islamiyah. Nilai perjuangan yang menghentak dan merebut seluruh nuraninya untuk tampil menyongsong masa depan sebagai syuhada ‘alan naass dan sekaligus memasuki barisan jundullah, barisan tentara Allah yang dengan gagah berani mampu menyatakan kebenaran dengan tuntas as the fighter of the truth!

Ramadhan bukan hanya sekedar bentangan serial dari perilaku ibadah formal, tetapi kita sangat yakin, bahwa Ramadhan telah mencelup diri kita dengan sibghah Ilahiyah, sehingga kita terlahir sebagai manusia yang baru dan mampu menyatakan keislaman kita secara aktual, memberi arti dan sekaligus mampu menjadi piibadi yang diperhitungkan sesuai misi hidupnya untuk memberikan citra rasa pada alam semesta, rahmatan lii alamin.

Setelah satu bulan digembleng dalam kawah candradimuka, maka kinilah saatnya untuk membuktikan kepiawaian diri masing-masing sebagai jundullah, barisan Allah yang mampu mengangkat tegak wajah batinnya untuk menegakkan kebenaran. Semangat yang lembek dan melempem telah tersingkir. Jiwa pengecut, kerdil dan banci telah mati dan terkubur, berganti dengan semangat samudera yang menggelegar menghempaskan seluruh perilaku kebatilan dan menggetarkan para kafirin yang mencoba menghujat dan menghinakan Islam.

Mana mungkin jiwa kita terpuruk dalam sikap pengecut, sedangkan musuh-musuh Islam terus bergentayangan di panggung dunia. Mana mungkin kita rela melepaskan generasi anak cucu kita pada budaya jahiliyah yang nista. Sedangkan Allah telah menunjuk kita semua sebagai ‘ibadur rahman, hamba Allah yang harus tampil sebagai pembela.

Wisuda Ramadhan.
Adalah Rasulullah telah menyatakan bahwa mereka yang berpuasa karena iman dan penuh tanggung jawab, akan diampuni dosa-dosanya, dan mereka kembali pada fitrah seperti bayi yang dilahirkan ibunya. Dengan. pernyataan ini, sesungguhnya para shoimin dan shoimat telah diwisuda sebagai manusia yang bersih, dan dadanya penuh dengan semangat Ilahiyah yang akan dimanifestasikaimya dalam semangat jihad.

Jihad adalah mahkotanya umat Islam. Dan selama umat Islam meninggalkan makna dan semangat jihad, maka pada dasarnya dia telah menistakan dan menghinakan dirinya sendiri, Naudzubillah. Mana mungkin kita melepaskan mahkota jihad, sedangkan firman Allah yang dinukilkan dalam surah Al Baqarah: 120, khususnya tentang kebencian orang-orang Yahudi tidak pernah akan terhapus. Belum lagi pupus ingatan kita akan kekejaman di Rohingya tragedi itu diulangi dan terus diulangi apabila umat Islam kehilangan semangat ukhuwah yang berdimensi mternasional untuk saling membela sesama saudaranya.

Darah akan terus mengalir.
Selama umat Islam tidak mengambil kembali ruh jihad dan menanggalkan mahkota dirinya sebagai mujahid jundullah, maka selama itu pulalah kita akan menyaksikan darah yang terus mengalir dan tubuh suci kaum muslimur dan muslimat. Orang-orang kafir yang dengan sistimatis membantai dan menghinakan sesama muslim di Rohingnya, kita saksikan dengan ketidak berdayaan. Seakan-akan kita terkesima dan kehilangan jalan buntu untuk menolongnya.

Seluruh kaum muslimin, bahkan para pemimpinnya sekalipun, apakah dia yang mengaku dari kelompok lain yang mengaku dirinya sebagai generasi penerus Islam, apakah kelompok Sunni yang melaungkan kecintaan kepada para sahabat, bahkan siapapun kaum muslimin yang mengaku non sekterian semuanya jalan di tempat seakan kehilangan arah untuk melawan kebatilan tersebut yang dengan sangat nyata membantai tubuh demi tubuh sesama saudaranya. Ketika Palestana dibantai, ketika Rohingnya dinista Konyolnya kita semua asyik terperangkap dalam diskusi-diskusi khilafiyah, soal furu dan mathhab yang tidak habis-habisnya. Astaghfirullah!

Apa makna takbir.
Ramadhan sebentar lagi berlalu, dan kita di tingkah suara takbir menyongsong kemanangan dalam syukuran Idul Fitri. Tetapi resapkanlah wahai saudaraku, setiap pembuka khotbah para khatib yang berdiri di panggung podium. Tuhan Maha Besar, Tiada Tuhan Kecuali Engkau, tiada sekutu bagi-Mu, yang akan menolong hamba-hambanya, para tentara Allah yang senantiasa ingin mensucikan agama Allah, walaupun ditentang orang-orang kafir sekalipun. Allahu Akbar...Allahu Akbar?

Sayang, do’a iftitah dalam khotbah para khatib itu tidak pernah sedikitpun dimengerti apalagi mampu menggedor dhamir suci kaum muslimin. Mereka melaksanakan shalat Idul Fitri tanpa membawa kesan jihad sedikitpun. Kalau Ramadhan tidak mampu membentuk semangat jihad. Kalau para khatib dan shalat Idul Fitri hanya sekedar seremonial tanpa goresan yang menyentuh gairah perjuangan. Lantas bahasa apa lagi yang harus kita pakai untuk menggugah hati kita semua.

Ya Allah, lahirkanlah di tengah-tengah kami seorang pemimpin yang mampu menggugah ummatmu untuk terjaga dan mimpinya yang panjang. 

Rabu, 04 Juli 2012

Mempersiapkan Diri Menyambut Rhamadhan


Tak terasa Ramadhan tiba.tiba saja hadir di hadapan kita. Kehadiran bulan mulia ini selalu menyapa kita dengan pesona yang berbeda-beda tiap tahunnya. Terkadang Ramadhan membuat kita merasa malu, alangkah bebalnya diri kita yang tidak bisa meraih ‘sesuatu’ dan kesempatan yang penuh berkah. Kita kadang-kadang sepenti kanak-kanak yang menunggui dan merindukan sesuatu, namun ketika sesuatu itu tampak dan hadir dalam jangkauannya, ia hanya bisa mempermainkannya, tidak tertarik lagi, tidak berarti, dan ia tidak bisa melihat nilai dan yang ditunggu itu.

Seperti itu juga kebanyakan kita. Siapa yang tidak rindu dengan Ramadhan, siapa yang tidak mengharapkan bulan suci ini datang, tapi ketika hadir, ia tidak bisa menghormati bulan ini, tidak bisa meraih kemulian yang akan diberikan bulan ini, malah lebih dahsyat menistakannya. Dalam riwayat disebutkan betapa banyak orang yang berpuasa di bulan Ramadahan tapi ia tidak mendapatkan apa-apa dan puasanya, Sebab orang itu berpuasa sekedar memenuhi kewajiban saja, dan ia melihat puasa sebagai beban syaniat bukan petunjuk syaniat.

Puasa bagi orang-orang seperti itu hanya menjadi semacam ritual belaka yang tidak mengandung maknawiyat dan tidak membangun menjadi manusia baru. Puasa bagi dirinya tidak mewariskan apapun. Padahal dalam sebuah hadis mi’raj disebutkan, “Wahai Tuhan apa itu yang diwariskan dan puasa?” Tuhan mengatakan puasa itu mewariskan hikmah mewariskan ma’rifat dan ma’rifat mewariskan prinsip, Kalau seorang hamba memiliki prinsip (keyakinan) ia tidak peduli apakah dalam keadaan menderita atau dalam kemudahan. Pernahkan kita mendapatkan hikmat, maknifat dan keyakinan dan bulan Ramadhan? ini tentu pertanyaan yang sulit dijawab lantanan paradigma kita tidak pernah berubah dalam memandang puasa Ramadhan. Dengan paradigma lama itu, maka hasil atau sesuatu yang kita raih, temukan dan serap juga tidak beranjak dan itu-itu juga. Panadigma lama kita biasanya mengajarkan bahwa puasa di bulan Ramadhan adalah kegiatan suci yang tidaklah sulit untuk mengilmuinya dan melaksanakannya, Ramadhan adalah rangkaian ibadah yang hanya menekankan pada aspek perut yaitu ketahanan lapar dan bukan ketahanan nafsu indra lahir dan batin. Elemen perut itulah yang menjadi fokus perhatian besar kita, sehingga ketika kita bisa menahan tidak makan dan fajar sampai magrib kita telah melaksanakan ganis besar atau inti dan puasa itu.

Kita tidak memandang hal-hal seperti pengendalian diri, pengekangan nafsu mata, telinga, hasud, dendam, tidak ikhlas, riya, syirik sebagai hal yang fundamental di bulan puasa tersebut. Manusia seperti itu akan bisa melaksanakan puasa perutnya, tapi dalam waktu yang sama ia tidak merasa salah mengobral mata dan memandang yang diharamkan syariat. Ia membiarkan hatinya dikerubuti penyakit-penyakit hati, melepaskan kendali indra-indra lainnya untuk berbuat sebebas mungkin. Ia tidak peduli apakah jiwanya dikuasai apapun, ia bukakan pintu-pintu jiwanya supaya disergap dan diserang segala kotoran. Ta tidak pernah menyadari kata-kata yang mengatakan, “Puasa jiwa atas kelezatan dunia, itulah puasa yang paling bermanfaat.”

Puasa Ramadhan tidaklah sekedar memotivasi muslim untuk menahan diri dan makan dan minum. Puasa Ramadhan tidak hanya menyuruh kita mempenhatikan aspek perut dan makanan saja, tapi ia juga melatih kita supaya bisa menahan, mengekang dan mengendalikan dan segala dorongan keinginan hawa nafsu. Bukankah tujuan dan puasa itu sendiri dalam surat al-Baqarah ayat 183 adalah bertakwa dan bukan sekedan membersihkan perut.

Lalu ilmu apa yang paling tepat untuk bisa memenuhi panggilan Tuhan ini?. Apakah ilmu secana formal tentang hukum-hukum puasa dan segalanya? ilmu formal sangat diperlukan tetapi itu hanya sebagian dan ilmu saja. seringkali manusia mengangap mudah memasuki Ramadhan ini tanpa pensiapan ilmu. Padahal ciri-ciri ilmu menurut Nabi dalam kitab at- Targhth wa Tathib adalah ‘rahmat tuhan atasnya semakin bertambah.’ Kalau kita memang memiliki ilmu maka rahmat tuhan akan semakin melimpah kepada kita. Tetapi bukan ilmu yang sekedar pengetahuan umum atau lawan dan ketidaktahuan, karena ilmu ini belum tentu mendatangkan rahmat tuhan, apalagi kalau niat dan tujuan dan ilmu itu hanya untuk kepentingan ego, nafsu dan hal-hal yang terlarang.

Ilmu yang dihajatkan untuk memasuki Ramadhan adalah ilmu yang melampaui pengetahuan tentang tata cara bagaimana sah melaksanan puasa secara formal. Ia adalah ilmu yang bisa menjaga pemiliknya untuk mengetahui bagaimana ia bisa melaksanan puasa ini sah secara spiritual, benar selaras dengan tujuan puasa itu sendiri. Ilmu seperti ini adalah pengetahuan dan tuhan, yang diserap oleh hati yang suci sehingga selalu abadi menempel dalam memori, hati dan tindakan.

Perhitungannya adalah antara dirinya dengan tuhan, bukan antara diri dengan jebakan-jebakan nafsu. Karena itu imam Shadiq mengatakan, ‘Ilmu itu disertai dengan amal, siapa yang berilmu, ia beramal dan siapa yang beramal ia berilmu,” Kalau ia berilmu tapi tidak beramal itu bukan ilmu, dan juga sebaliknya kalau ia beramal tapi tidak berilmu, ia tidak beramal,

Berikutnya yang menjadikan puasa Ramadhan menjadi acara biasa-biasa saja karena kita tidak sungguh-sungguh berpikir bahwa itu adalah sebuah kesempatan besar, momen langka yang tidak pernah datang dua kali. Tiap tahun Ramadhan membawa pesan baru dan kesempatan emas bagi manusia. Nabi saw mengatakan, “Kalau si hamba tahu apa yang ada dalam bulan itu ia ingin bulan itu lamanya setahun.” Salah satu tanda bahwa Ramadhan bukan bulan istimewa bagi kita ialah kita tidak mempersiapkan diri untuk memasukinya. Padahal banyak anjuran dan Nabi saw yang menyuruh kita memasuki bulan Ramadhan dengan meniti dulu bulan-bulan Rajab, Sya’ban dengan amalan-amalan khusus.

Biasanya satu,dua hari atau paling lama seminggu, kita baru mempersiapkan diri untuk memasuki bulan penuh berkah ini. Itupun hanyalah persiapan dan pengetahuan tentang awal bulan Ramadhan dan akhirnya. Rasulullah saw pernah berkhutbah, “Wahai manusia telah menjemput kalian bulan Allah yang mengandung keberkatan, rahmat dan magfirah. Bulan itu bagi Allah adalah bulan yang paling utama, hari-harinya paling bernilai, malam-malamnya paling bernilai, waktu-waktunya paling bernilai, di bulan itu kalian diundang ke jamuan Allah dan kalian dijadikan kehormatan Allah, napas-napas kalian tasbih, tidur kalian ibadah dan amal-amal kalian diterima dan doa kalian dikabulkan.”

Sungguh Tuhan telah menarik hati hamba-hambanya agar memperhatikan dan mengapresiasi bulan suci rhamadhan tersebut dengan segala daya tarik maknawi dan pahala. Tetapi mengapa pula manusia tetap acuh tak acuk dan tak pernah melihat pesan misterius dan Tuhan. Padahal bulan ini bisa merevolusi manusia; bulan mi bisa membangun kehidupan baru kita; bulan mi bisa mengubah kim; bulan ini bisa membahagian kita; bulan ini bisa menyelamatkan perahu kehidupan kita; bulan ini bisa menjadi kesempatan untuk memperbaiki diri, menambal kesalahan; kegagalan dan menghidupkan kembali manusia dengan kehidupan yang sebenarnya.

Tuhan tahu bahwa dalam setahun sekali manusia perlu melihat ke dalam. Perlu mengevaluasi perjalanan hidup. Perlu melihat dengan cermat, cerah dan jernih memandang segala romantika hidup. Sebelas bulan Tuhan membebaskan kita untuk bergumul dengan kehidupan, maka sediakanlah waktu dalam sebulan untuk mengisi ruhani dengan amal-amal saleh di bulan suci ini. Manusia memerlukan persiapan mental dan spiritual untuk memasuki kehidupan 11 bulan pertahunnya dan itu disediakan oleh bulan Ramadhan. Sesungguhnya bulan Ramadhan adalah bulan penggodokan mental dan spiritual. Walaupun temponya singkat, sebulan, tapi kalau berkualitas ia bisa meningkatkan spiritual manusianya menjadi bertakwa.

Kita tahu, salah satu modal besar untuk memasuki kehidupan adalah takwa. Tuhan tidak berdusta dengan firmannya bahwa puasa itu supaya kalian menjadi manusia bertakwa. Takwa menurut imam Ali adalah puncak akhlak. Jadi bagi yang bertakwa tidak lagi memiliki masalah dengan akhlaknya dan seorang yang bertakwa sudah pasti akhlaknya baik. Dalam kesempatan lain dikatakan bahwa, “Siapa yang bertakwa, Allah akan menjaganya.”

Akhirnya, ujung dan puasa di bulan Ramadhan adalah suatu hasil, nilai atau pencapaian suatu posisi yang sangat luhur. Untuk meraih itu jelas tidak bisa dengan usaha ala kadar atau usaha seadanya. Hasil itu adalah konsekuensi dan amal-amal lahir-batin, jiwa dan raga, maksimalitas dan kedisiplinan syariat yang utuh. Sebuah hasil dan nilai yang besar tentu memerlukan kerja besar, nilai yang terkandung dalam takwa itu sungguh tak ternilai harganya. Dalam kitab Ghurar a1-Hikam disebutkan bahwa, “Takwa kepada Allah itu adalah ohat bagi penyakit hati kalian; mata bagi hati-hati kalian yang buta, penawar bagi penyakit jasad-jasad kalian; penyembuh bagi keruwetan dada kalian; pembersih bagi kekotoran jiwa kalian; dan penerang bagi kegelapan mata hati kalian.