Pisau biasanya digunakan untuk
memotong sesuatu. Alat pemotong ini dianggap baik manakala keadaannya tajam.
Jika sebaliknya, pisau itu tumpul, akan sulit digunakan untuk memotong. Pisau
tumpul jika akan digunakan, maka harus dipertajam dulu. Pisau tumpul jika
dipaksa digunakan, hasilnya juga tidak baik.
Pisau tumpul, apa lagi sudah
berkarat, biasanya tidak digunakan. Memotong dengan pisau tumpul akan
mendatangkan rasa sakit bagi yang memotong. Demikian pula benda yang dipotong,
mungkin tidak akan putus, tetapi justru menjadi rusak. Jika demikian, pisau
tumpul tidak perlu dipakai. Jika harus memotong sesuatu, maka dicari saja pisau
baru yang tajam, atau pisau yang tumpul tersebut dipertajam terlebih dahulu
sebelum dipakai.
Sejalan dengan hal tersebut, maka
dalam ajaran Islam, tatkala memotong hewan pun dianjurkan untuk memilih pisau
yang tajam. Dengan menggunakan pisau yang tajam, orang yang bertugas memotong
hewan itu akan mudah melakukannya. Demikian pula hewan yang dipotong pun, tidak
akan merasa lebih tersiksa. Bayangkan, apa yang akan terjadi, jika seseorang
memotong hewan dengan menggunakan pisau tumpul. Pisau selain digunakan sebagai
alat potong memotong, rasanya menarik jika digunakan sebagai metafora dalam
gerakan memberantas korupsi di negeri ini. Sekalipun pada akhir-akhir ini,
pemberantasan korupsi sudah sedemikian gigih dilakukan, tetapi anehnya fenomena
itu tidak semakin berkurang. Sebaliknya, justru semakin meluas. Akibatnya,
sehari-hari orang terbawa-bawa pada perbincangan tentang jenis penyimpangan
itu, hingga jengkel dan kesal.
Berita tentang korupsi ada di
mana-mana. Seolah-otah tidak ada sejengkal wilayah pun di negeri ini yang telah
bebas dan kasus-kasus korupsi. Berita tentang peineriksaan, tindak korupsi,
penangkapan, penyidikan, pengadilan, dan akhirnya memenjarakan seolah-olah
tidak ada henti-hentinya. Apalagi pada saat-saat sekarang ini, tidak saja
polisi, jaksa, KPK, dan hakim, parlemen pun harus menyita waktu rnengurus soal
penyimpangan itu. Pemberantasan korupsi telah dilakukan sedemikian rupa, dengan
melibatkan berbagai lembaga, termasuk pengawasan dan LSM dan juga masyarakat.
Namun seolah-olah koruptor tidak memiliki rasa takut sama sekali. Setiap
pejabat, sebelum menunaikan tugasnya disumpah dan bahkan akhir-akhir ini harus
menanda-tangani Pakta Integritas terlebih dahulu. Tetapi rupanya, pendekatan
moral itu juga tidak mempan menghilangkan mental buruk, yakni korup yang
dibenci oleh semua pihak itu.
Memperhatikan sulitnya
memberantas korupsi tersebut, saya teringat alat pemotong yang bernama pisau
sebagaimana digambarkan di muka. Terlintas dalam pikiran saya, jangan-jangan
pisau yang digunakan untuk memotong tindak korupsi selama ini adalah pisau yang
tumpul. Yaitu, pisau yang belum jadi, atau pisau model lama, dan bahkan sudah
karatan, sehingga tidak mungkin bisa digunakan untuk memotong secara baik.
Pisau yang selama ini digunakan untuk memotong korupsi itu, jangan-jangan
memang perlu dilihat keadaannya, apakah masih tumpul, tua, dan karatan.
Untuk mengetahui keadaan pisau
itu yang sebenamya, tidak sulit. Kita lihat saja, apa yang terjadi di institusi
yang terkait dengan tindak korupsi dan pemberantasannya itu. Melihatnya juga
harus adil, dilakukan secara menyeluruh. Mulai dan linkungan penguasa,
kepolisian, kejaksaan, kehakiman, KPK, dan bahkan juga intitusi pendidikan yang
melahirkan orang-orang yang bertugas di lembaga-lembaga tersebut harus dilihat
semua. pemotong itu harus dilihat tingkat ketajamannya. Jangan sampai alat itu
ternyata tumpul. Bahkan selain itu, benda yang dipotong pun juga harus dilihat.
Tidak boleh misalnya, benda yang ada di dalam air, disalahkan kenapa basah.
Sebab, semua benda yang berada di dalam air, apapun bentuknya, selalu basah.
Karena itu, menyalahkannya justru salah.
Terkait dengan gambaran sederhana
terakhir, yaitu tidak boleh menyalahkan keadaan basah benda dalam air, maka
dalam kontek itu, hal yang perlu dilihat adalah menyangkut manajemen birokrasi
pemerintahan selama ini. Selain itu juga yang perlu dilihat kembali adalah
undang-undang, peraturan, pengawasan dan lain-lain. Sebatas menyalahkan, kenapa
benda yang diambil dan dalam air itu basah, tidak relevan. Sama dengan hal itu
adalah menganggap salah dan menghukumnya terhadap orang-orang yang berada pada
system yang salah.
Tulisan sederhana ini
sesungguhnya hanya ingin mengajak merenung secara mendalam, agar dalam setiap
mengambil keputusan yang mengakibatkan penderitaan seseorang, apalagi banyak
orang harus dilakukan secara hati-hati. Manusia harus selalu dijaga harkat dan
martabatnya. Di mana dan kapan pun, manusia tidak boleh dinistakan. Sebab, pada
hakekatnya manusia adalah makhluk yang harus dimuliakan. Jika menggunakan
metafora pisau, maka alat potong dimaksud, harus benar-benar tajam, agar
tatkala digunakan memotong benar-benar bisa putus, dan tidak mengakibatkan rasa
sakit yang mendalam bagi semua. Pisau tumpul dan apalagi berkarat sebelum
digunakan, seharusnya dipertajam dulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar