Istilah menang dan kalah biasanya
terkait dengan perlombaan, permainan, perang, perselisihan, pertengkaran, dan
lain-lain yang serupa. Pemenang atau
pihak yang kalah dalam perlombaan atau pertandingan biasanya dengan mudah diterima.
Karena dalam perlombaan selalu ada aturan, tata cara, dan atau kode etiknya.
Selain itu dalam perlombaan selalu ditunjuk seorang wasit yang memimpinnya.
Bahkan dalam perlombaan pada tingkat tertentu, masih dilengkapi pula dengan
pengawas pertandingan.
Maka, dalam perlombaan, pihak
yang kalah akan segera menerima kekalahannya. Istilah yang mirip dengan
pertandingan adalah permainan. Misalnya, permainan kartu, permainan sepak bola
anak-anak di kampung dan lain-lain. Sekalipun sederhana, dalam permainan itu
selalu ada aturan main atau semacam kode etik yang disepakati. Dalam bermain
semua pihak berpegang pada aturan main itu. Jika seseorang suka menyalahi
aturan main itu, maka dalam kesempatan lain, yang bersangkutan tidak akan
diikutkan. Orang tersebut akan disisihkan dan komunitas itu, karena dikenal
nakal, suka melanggar aturan main. Seseorang yang sering melanggar aturan, maka
akan disihkan dan kelompoknya.
Hal yang agaknya berbeda dengan
itu adalah perang. Dalam peperangan, status sebagai pemenangannya diperoleh dan
pihak yang kalah. Pihak yang kalah jika sudah merasa tidak mampu lagi
melanjutkan perlawanan, akan segera menyerah dan mengakui kekalahannya. Jika di
antara yang terlibat dalam peperang tidak mampu memberikan perlawanan, maka
mereka disebut sebagai pihak kalah perang. Dalam peperangan, tidak sebagaimana
dalam pertandingan, tidak diperlukan wasit, yang justru ada biasanya adalah
para pembela.
Berbeda lagi dengan beberapa
istilah tersebut di muka adalah pertengkaran. Dalam pertengkaran pun semua
pihak ingin mendapatkan kemenangan. Mereka berebut kemenangan dan tidak ada
yang mau merasa kalah. Dalam pertengkaran tidak ada kode etik dan bahkan juga
tidak ada wasit. Karena itu pertengkaran biasanya memerlukan waktu lama.
Kalaupun berhenti, sesungguhnya hanya sementara. Suatu ketika pertengkaran itu
akan muncul lagi. Pertengkaran tidak seberbahaya perang, akan tetapi juga
membawa resiko, yang kadang tidak kecil. Apalagi pertengkaran itu terjadi di
antara kelompok besar. Masing-masing pihak memiliki pendukung, dan semuanya
menginginkan kemenangan. Jarang sekali pertengkaran berjalan obyektif.
Pertengkaran atau perselisihan selalu diwarnai oleh subyektifitas. Emosi selalu
mewarnai dalam setiap pertengkaran. Karena itulah sesungguhnya pertengkaran
juga penuh resiko, berdurasi panjang, dan bisajadi tidak mudah diselesaikan.
Pertengkaran biasanya tidak
sederhana, hanya berebut kemenangan. Lebih dan itu selalu diwarnai atau
dimaksudkan sebagai upaya menjaga harga diri, gengsi, prestise, martabat, dan
lain-lain. Orang tidak mau disebut kalah dalam bertengkar. Karena jika dianggap
kalah maka gengsi, prestise, dan harga dirinya dianggap turun. Orang kalah pun
biasanya tidak mau disebut kalah. Bahkan orang salah pun sesungguhnya juga
tidak mau disebut salah. Semua orang menghendaki disebut sebagai orang baik,
unggul, orang benar, orang jujur, orang adil, dan seterusnya.
Oleh karena itu seorang Pujangga
Jawa yang cukup terkenal pernah mengatakan bahwa semestinya setiap orang mampu
menjaga orang lain dengan mengatakan menang tanpa ngasorake. Seseorang tidak
hanya dituntut berhasil menjaga dirinya sendiri, melainkan juga diharapkan
mampu menjaga pihak lain. Semogalah perselisihan yang terjadi, berhasil
mengakhiri persoalannya dengan kalimat yang indah, yaitu menang tanpa
mengalahkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar