Takala berteman, baik dengan
sesama saudara, tetangga dekat, teman sekantor, teman kuliah, atau seorganisasi
dan lain-lain, kita berharap mendapatkan sesuatu yang kita inginkan. Kita
berkeinginan agar teman-teman tersebut berpikir, berbicara, berperilaku, dan
berpenampilan, sesuai dengan yang kita inginkan. Kita tidak suka jika
teman-teman itu menampakkan perilaku semaunya sendiri. Bahkan lebih
menjengkelkan jika perilaku mereka tampak bertentangan dengan kemauan kita.
Saling memaksa orang lain agar
berperilaku sebagaimana yang diinginkan, biasanya akan melahirkan saling tidak
menyukai dan bahkan menjadi sumber konflik. Itulah sebabnya, agar merasa tidak
dipaksa, maka orang biasanya suka berkumpul dengan orang-orang yang memiliki
kemiripan dan lebih senang lagi jika saling menyandang kesamaan. Kehidupan
kelompok biasanya bertahan lama, jika di antara mereka ada kesamaan itu. Dengan
kesamaan itu mereka akan merasa tidak saling terganggu.
Namun dalam kenyataannya,
kesamaan itu tidak selalu mudah diperoleh. Seseorang misalnya, harus bekerja di
kantor atau instuitusi bersama berbagai orang yang memiliki latar belakang yang
beraneka ragam. Sudah barang tentu mereka tidak akan mungkin bisa dipaksa agar
menyesuaikan diri dengan keinginan semua teman yang ada di kantor itu. Jika
demikian, alangkah sulitnya seseorang yang harus menyesuaikan dengan berbagai
orang, apalagi misalnya jumlahnya yang sekian banyak. Beradaptasi dengan
berbagai macam orang, tidak semua sanggup.
Menghadapi persoalan itu, cara
yang terbaik adalah menerima berbagai macam perilaku teman yang banyak itu
sebagaimana adanya. Perilaku yang tidak terlalu disukai itu, seharusnya
diterima apa adanya, asalkan tidak sampai pada taraf menganggu kerja kantor, organisasi,
atau lainnya. Justru perbedaan itu, adalah sebagai keuntungan tersendiri.
Kesamaan memang mendatangkan kebahagiaan, tetapi tidak selalu menguntungkan.
Namun sayangnya tidak semua orang
bisa menerima orang lain dengan apa adanya. Biasanya orang menginginkan orang
lain berperilaku sebagaimana seharusnya. Lebih-lebih yang dimaksudkan itu
adalah seharusnya menurut kita. Harapan itu tentu amat sulit terpenuhi. Sebab,
orang lain juga menuntut hal sama, berharap kepada kita agar berperilaku
sebagaimana yang dikehendakinya. Kesadaran untuk bisa menerima orang lain apa
adanya itu, adalah merupakan kunci untuk membangun kebersamaan.
Manusia sering disebut sebagai
makiuk yang unik. Artinya setiap manusia memiliki karakter, watak, dan perilaku
yang berbeda-beda, dan masing-masing bersifat khas. Tidak pernah ada orang yang
memiliki karakter secara persis sama dengan orang lain. Bahkan DNA orang lahir
kembar pun sekalipun berwajah mirip, di antaranya masih bisa dibedakan, apalagi
watak, karakter atau perilaku yang dimiliki oleh masing-masing.
Sehubungan dengan sifatnya yang
unik itu, maka mengenal banyak orang tidak mudah dilakukan, sehingga diperlukan
waktu dan kesempatan untuk saling belajar. Atas dasar pandangan inilah maka
hidup bersama, semacam di asrama, atau di pesantren menjadi penting. Dan
pengalaman hidup di asrama atau di pesantren itu masing-masing orang bisa
belajar tentang watak, perilaku, dan karakter mereka antara satu dengan
lainnya.
Relevan dengan persoalan itu,
saya pernah mendapatkan penjelasan dan seorang guru, bahwa sengaja para
santrinya ditempatkan secara bersama-sama dalam satu tempat, dengan maksud agar
mereka saling belajar mengenal berbagai hal dan masing-masing teman sesama siswa
atau santri. Guru tersebut memberi penjelasan bahwa, jika seorang siswa atau santri
hidup bersama 10 orang siswa atau santri lainnya, berarti dia akan belajar
tentang 10 orang itu. Guru itu menambahkan bahwa, dengan cara itu ia berharap,
setelah terjun ke tengah-tengah masyarakat dan harus bergaul dengan berbagai-bagai
jenis orang yang jumlahnya lebih banyak lagi, para siswa atau santri akan
menjadi lebih siap.
Pergaulan di bidang apapun,
selalu diwarnai oleh adanya orang-orang yang memiliki karakter, watak dan
perilaku yang berbeda-beda itu. Mendapatkan orang yang selalu sama dengan
kemauan kita merupakan hal yang mustahil. Selain itu, sebagaimana watak dan
karaktemya, setiap orang juga pada suatu saat mengalami perubahan-perubahan
yang bisa jadi kurang menyenangkan. Hal-hal sederhana ini jika tidak berhasil
disikapi secara arif dan bijak akan menjadi sebab runtuhnya hubungan-hubungan
yang seharusnya dijaga secara terus menerus.
Untuk menjaga hubungan baik itu,
kunci yang harus dipegang oleh masing-masing pihak adalah adanya kesediaan
saling menerima orang lain sebagai apa adanya dan juga seutuhnya. Watak,
perilaku dan karakter seseorang, oleh karena tuntutan lingkungan dan perjalanan
waktu misalnya, bisa berubah-ubah. Contoh sederhana, suatu saat teman sekantor
mengeluh, gelisah, dan bahkan marah. Keadaan seperti itti seharusnya diterima
sebagai apa adanya. Kesediaan memahami dan menerima teman, kolega, sahabat
sebagaimana apa adanya, merupakan kunci keberhasilan membangun kebersamaan,
baik untuk kepentingan keluarga, institusi, organisasi, bahkan juga dalam skala
besar, semisal di pemerintahan atau bahkan juga di lembaga politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar