Bagaimana kalau di zaman perang
Diponegoro, sudah ada Twitter? Pasti cerita sejarah akan beda! Itu memang
pertanyaan iseng. Imajinasi kita bisa melayang ke mana-mana untuk menjawabnya.
Jika memang era digital datang lebih awal, aneka kisah yang selama ini dikenal
sebagai ikon historis akan berwarna lain. Tentu orang tidak akan menemukan
gambaran heroik Sang Pangeran memacu kuda dengan menghunus keris, seperti
selalu digambarkan dalam lukisan dan patung perjuangan. Bisa jadi komunikasi
Sang Pangeran kepada para panglima perang di lapangan cukup dikendalikan lewat
Twitter. Bahkan, solidaritas sosial membangun kemarahan terhadap Kompeni
Belanda, kemungkinan tidak hanya membakar hati orang Jawa Namun juga orang
se-Nusantara akan ramai-ramai terprovokasi berjihad di tanah Jawa, sama persis
dengan kekuatan daya hasut Facebook ketika membela Prita yang suatu kali
berhasil membetot emosi manusia untuk menyokong perlawanannya terhadap rumah
sakit yang berseteru dengannya.
Dan sebaliknya, Twitter juga bisa
menguntungkan VOC. Kompeni Belanda tentu saja tak bakal kobol-kobol anggarannya
melayani Perang Jawa. Menangkap Sang Pangeran pun tentu semudah pencet tombol,
karena posisi persembunyiannya segera ketahuan satelit VOC. Dengan kekuatan
budaya digital yang luar biasa itu, bagi kedua pihak, semuanya jadi mudah
dilakukan. Serba hemat.
Seru kan ? Apalagi kalau kemudian kita
mengimajinasikan rentetan peristiwa demi peristiwa selanjutnya. Bisa jadi kita
enggak bakalan mengenal teks Prokiamasi tulisan tangan Bung Karno yang
goresannya sangat karakteristik itu, karena jangan-jangan Bapak Bangsa itu akan
menciptakan naskah Prokiamasi tak Iebih dan 140 karakter huruf.
Ajakan berfantasi ini semakin
menyadarkan, betapa kuat dan dahsyatnya media sosial itu berperan mengubah
masyarakat. Revolusi teknologi digital itulah penyebabnya. Dengan
mengimajinasikan peristiwa masa lalu, orang lalu membayangkan betapa masa depan
akan semakin diwarnai perubahan yang serba muskil dan ganjil. Semua serba tak
terduga. Kekuatan imajinasi sepertinya akan selalu terlambat membayangkan
percepatan perubahan itu. Selagi orang ingin membayangkan, teknologi informasi
berbasis digital memberikan jawaban selangkah lebih maju dan yang sekadar
dibayangkan. Kita pun tahu, temuan-temuan baru inovatif yang semula menunjukkan
kecerdasan akal budi manusia, terkadang justru tanpa sengaja membunuh tradisi
dan kebudayaan yang sebelumnya telah hidup mengakar. Bersamaan dengan
dimudahkannya masyarakat dalam mencari dan mengembangkan pengetahuan oleh
teknologi informasi, masyarakat pelan-pelan akan kehilangan adat istiadat, tata
krama, dan nilai-nilai lain yang sebelumnya mewarnai kehidupan kebudayaannya.
Hari ini manusia Jawa masih
selalu terlihat santun, kepala menunduk tatkala menghadap atasannya, mungkin
tak sampai setengah abad lagi, adegan seperti itu mungkin hanya bisa dinikmati
dalam diorama museum antropologi. Teknologi seluler menghancurkan batas-batas
hubungan atasan dan bawahan, karena mereka lebih enjoy berkomunikasi melalui SMS.
Tak ada lagi ketegangan garis komando antara jenderal dengan kopral, antara
sultan dengan abdi dalem, antara presiden dengan jubir. Bahkan saking
egaliternya hubungan antar manusia, mereka bisa saling ledek melalui Twitter
dan Facebook.
Sekarang gejala perubahan tu
terlihat gamblang. Berbagi ilmu pengetahuan tak harus melalui celoteh dosen di
depan ruang kelas. Kini banyak jamaah Al-Twitteriyah (maksudnya para pemilik
akun Twitter) membagi kepandaian dan pengetahuannya melalui apa yang diistilahkan
“kuitwit” (kuliah Twitter). Aneka isu mutakhir dan persoalan-persoalan
kontemporer di bidang politik, filsafat, ekonomi, sosial, dan budaya
dikuliahkan secara gratisan. Para follower
bisa menyantap pengetahuan di mana saja. Sebuah tradisi pembelajaran yang
berubah revolusioner. Selain dengan browsing serapan pengetahuan bisa datang
dan mana saja. Dan ruang kelas masuk ke ruang super privat.
Dengan kedahsyatan yang luar
biasa ini kita pun lalu bertanya: kelak masih adakah stamina orang melakukan
kegiatan baca buku dengan intens? Masih tersediakah waktu untuk mendengarkan
wejangan guru? Apakah nantinya orang masih bisa merasakan kehangatan
persahabatan antar manusia? Saya justru khawatir kalau kelak manusia semakin
tereduksi menjadi manusia serba maya, tak bisa lagi dijamah kemanusiaannya
karena mereka telah menjelma jadi kepingan angka dan huruf saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar