Me & My Imagination

Tanpa imajinasi saya hanya barang mati, tanpa imajinasi dunia saya kecil

dengan imajinasi saya bisa terbang, melampaui diri, melampaui kini, melampaui disini

dengan imajinasi saya jadikan tiada menjadi ada

Ilmu pengetahuan adalah gudang penyimpan hasil imajinasi

Sedang imajinasi adalah mesin cetak ilmu pengetahuan

Selasa, 05 Juni 2012

Jemaah Al-Twitteriyah Mengubah Manusia


Bagaimana kalau di zaman perang Diponegoro, sudah ada Twitter? Pasti cerita sejarah akan beda! Itu memang pertanyaan iseng. Imajinasi kita bisa melayang ke mana-mana untuk menjawabnya. Jika memang era digital datang lebih awal, aneka kisah yang selama ini dikenal sebagai ikon historis akan berwarna lain. Tentu orang tidak akan menemukan gambaran heroik Sang Pangeran memacu kuda dengan menghunus keris, seperti selalu digambarkan dalam lukisan dan patung perjuangan. Bisa jadi komunikasi Sang Pangeran kepada para panglima perang di lapangan cukup dikendalikan lewat Twitter. Bahkan, solidaritas sosial membangun kemarahan terhadap Kompeni Belanda, kemungkinan tidak hanya membakar hati orang Jawa Namun juga orang se-Nusantara akan ramai-ramai terprovokasi berjihad di tanah Jawa, sama persis dengan kekuatan daya hasut Facebook ketika membela Prita yang suatu kali berhasil membetot emosi manusia untuk menyokong perlawanannya terhadap rumah sakit yang berseteru dengannya.

Dan sebaliknya, Twitter juga bisa menguntungkan VOC. Kompeni Belanda tentu saja tak bakal kobol-kobol anggarannya melayani Perang Jawa. Menangkap Sang Pangeran pun tentu semudah pencet tombol, karena posisi persembunyiannya segera ketahuan satelit VOC. Dengan kekuatan budaya digital yang luar biasa itu, bagi kedua pihak, semuanya jadi mudah dilakukan. Serba hemat.

Seru kan? Apalagi kalau kemudian kita mengimajinasikan rentetan peristiwa demi peristiwa selanjutnya. Bisa jadi kita enggak bakalan mengenal teks Prokiamasi tulisan tangan Bung Karno yang goresannya sangat karakteristik itu, karena jangan-jangan Bapak Bangsa itu akan menciptakan naskah Prokiamasi tak Iebih dan 140 karakter huruf.

Ajakan berfantasi ini semakin menyadarkan, betapa kuat dan dahsyatnya media sosial itu berperan mengubah masyarakat. Revolusi teknologi digital itulah penyebabnya. Dengan mengimajinasikan peristiwa masa lalu, orang lalu membayangkan betapa masa depan akan semakin diwarnai perubahan yang serba muskil dan ganjil. Semua serba tak terduga. Kekuatan imajinasi sepertinya akan selalu terlambat membayangkan percepatan perubahan itu. Selagi orang ingin membayangkan, teknologi informasi berbasis digital memberikan jawaban selangkah lebih maju dan yang sekadar dibayangkan. Kita pun tahu, temuan-temuan baru inovatif yang semula menunjukkan kecerdasan akal budi manusia, terkadang justru tanpa sengaja membunuh tradisi dan kebudayaan yang sebelumnya telah hidup mengakar. Bersamaan dengan dimudahkannya masyarakat dalam mencari dan mengembangkan pengetahuan oleh teknologi informasi, masyarakat pelan-pelan akan kehilangan adat istiadat, tata krama, dan nilai-nilai lain yang sebelumnya mewarnai kehidupan kebudayaannya.

Hari ini manusia Jawa masih selalu terlihat santun, kepala menunduk tatkala menghadap atasannya, mungkin tak sampai setengah abad lagi, adegan seperti itu mungkin hanya bisa dinikmati dalam diorama museum antropologi. Teknologi seluler menghancurkan batas-batas hubungan atasan dan bawahan, karena mereka lebih enjoy berkomunikasi melalui SMS. Tak ada lagi ketegangan garis komando antara jenderal dengan kopral, antara sultan dengan abdi dalem, antara presiden dengan jubir. Bahkan saking egaliternya hubungan antar manusia, mereka bisa saling ledek melalui Twitter dan Facebook.

Sekarang gejala perubahan tu terlihat gamblang. Berbagi ilmu pengetahuan tak harus melalui celoteh dosen di depan ruang kelas. Kini banyak jamaah Al-Twitteriyah (maksudnya para pemilik akun Twitter) membagi kepandaian dan pengetahuannya melalui apa yang diistilahkan “kuitwit” (kuliah Twitter). Aneka isu mutakhir dan persoalan-persoalan kontemporer di bidang politik, filsafat, ekonomi, sosial, dan budaya dikuliahkan secara gratisan. Para follower bisa menyantap pengetahuan di mana saja. Sebuah tradisi pembelajaran yang berubah revolusioner. Selain dengan browsing serapan pengetahuan bisa datang dan mana saja. Dan ruang kelas masuk ke ruang super privat.

Dengan kedahsyatan yang luar biasa ini kita pun lalu bertanya: kelak masih adakah stamina orang melakukan kegiatan baca buku dengan intens? Masih tersediakah waktu untuk mendengarkan wejangan guru? Apakah nantinya orang masih bisa merasakan kehangatan persahabatan antar manusia? Saya justru khawatir kalau kelak manusia semakin tereduksi menjadi manusia serba maya, tak bisa lagi dijamah kemanusiaannya karena mereka telah menjelma jadi kepingan angka dan huruf saja.

Tidak ada komentar: