Me & My Imagination

Tanpa imajinasi saya hanya barang mati, tanpa imajinasi dunia saya kecil

dengan imajinasi saya bisa terbang, melampaui diri, melampaui kini, melampaui disini

dengan imajinasi saya jadikan tiada menjadi ada

Ilmu pengetahuan adalah gudang penyimpan hasil imajinasi

Sedang imajinasi adalah mesin cetak ilmu pengetahuan

Minggu, 11 Maret 2012

Mencontek

Seorang sosiolog berceramah Di antara sentilan-sentilan yang mewarnai ceramahnya itu, ia bercerita tentang pengalamannya ketika berkunjung ke Monash University di Amerika Serikat beberapa tahun silam. Darohim tertarik dengan budaya anti menyontek yang menjadi prinsip para mahasiswa dan pelajar di Amerika, terutama di kampus Monash University. Dan teman yang mengajaknya berkunjung ke Monash, Darohim mendapat penjelasan bahwa “Dalam sejarah program pascasarjana di Monash, hanya terjadi satu kasus menyontek. Ternyata mahasiswa yang menyontek itu berasal dari Indonesia.” Sebagai hukumannya, mahasiswa program magister asal Indonesia itu dikeluarkan secara tidak terhormat dan Monash University. Sungguh memalukan.

            Contek menyontek jelas budaya buruk yang mesti segera dieliminir dalam praktik pendidikan di manapun. Tapi sayangnya, virus budaya ini seperti sangat sulit untuk dibasmi, di Indonesia apalagi di tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi, menyontek tetap diandalkan sebagian pelajar dan mahasiswa untuk mendapatkan nilai lebih baik dari kemampuan yang dimilikinya. “ini berkaitan dengan budaya pelajar Indonesia yang masih memandang nilai dan ijazah sebagai orientasi belajar mereka”.

            Jelas, secara psikologis, perilaku menyontek mencerminkan sikap tak percaya diri yang salah satu penyebabnya karena tak siap menempuh ujian. “Kepercayaan diri muncul karena adanya persiapan,” Tapi yang jelas, menyontek adalah sebuah kecurangan yang jika dipelihara akan tumbuh menjadi sebuah kejahatan. Tengok saja praktik menyontek yang terkadang dibuat secara sistematis. Misalnya, pembocoran soal ujian Sipenmaru (UMPTN) atau EBTANAS (Ujian Nasional) yang dilakukan oleh ‘orang dalam’ atau bahkan oleh guru. Mereka memanfaatkan peluang budaya curang yang melekat di kalangan para siswa kita. Parahnya lagi, ketika seorang siswà atau mahasiswa mendapat prototipe soal yang diujikan atau bahkan jawaban soal-soal itu, bukan rasa malu yang muncul, melainkan rasa bangga karena mendapat bocoran soal-soal ujian itu.

            Meskipun terkadang praktik menyontek dilakukan dengan alasan pembenaran seperti, “Menyontek untuk membantu orang tua sebab jika tak lulus kasihan orang tua yang telah membiayai pendidikan”, menyontek tetap tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun. Seorang yang terbiasa menyontek di masa-masa awal sekolah dasar, akan terus membawa kebiasaan itu di masa pertumbuhan, bahkan hingga masa dewasanya jika tak ada perubahan yang betul-betul radikal dalam kehidupannya, misalnya pertobatan yang timbul setelah peristiwa hidup yang dianggap revolusioner dalam dirinya. Intinya, kebiasaan menyontek memupuk mental curang, tak percaya din, oportunis dan mau enaknya sendiri.

            Salah satu contoh ringan terjadi di sebuah press room (ruang wartawan) di sebuah lembaga pemerintah yang sangat strategis. Peristiwa ini terjadi beberapa tahun yang silam, tapi kemungkinan besar masih terjadi hingga sekarang dan juga di press room-press room lain. Dengan tanpa beban, reporter-reporter yang terlambat datang dan tak mendapat momentum peristiwa wawancara dengan menteri yang memimpin lembaga itu meminta salinan transkrip wawancara singkat yang diperbanyak di press room itu kepada rekan-rekan mereka. Hasilnya dibawa pulang ke kantor seolah-olah hasil usahanya sendiri. Padahal??? Atau praktik plagiat yang masih saja terjadi, bahkan dilakukan oleh manusia sekelas dosen yang menjiplak karya orang lain demi sebuah gelar. Dua kasus itu hanya sedikit dan mental yang diturunkan dan kebiasaan menyontek. Perilaku contek-menyontek hanyalah secuil catatan dalam dunia pendidikan di Indonesia yang tampaknya sepele tapi menyimpan bahaya yang jika tak segera diantisipasi akan semakin memperparah kualitas mental manusia Indonesia yang sekarang ini semakin bertambah nilai merahnya.

            Kasus Monash tadi mungkin bisa dijadikan pelajaran sangsi bagi pelajar atau mahasiswa yang tertangkap basah atau terbukti menyontek hanya satu, dikeluarkan. Meskipun tak akan menghapus kikis praktik menyontek, paling tidak menanamkan suatu prinsip penegakan hukum yang jelas untuk tidak melakukannya. Atau mekanisme-mekanisme teknis dalam ujian yang perlu dikembangkan agar tidak ada sama sekali peluang menyontek, baik itu menyontek kepada teman seruang atau membuka catatan yang tidak diizinkan untuk dibuka selama ujian berlangsung. Sebuah pekerjaan rumah yang patut untuk mendapatkan perhatian besar dan kalangan pendidik kita. 

Tidak ada komentar: