Menjadi pengemis, kini dijadikan semacam profesi oleh sebagian orang yang tergiur dengan pendapatan pasti tanpa harus berniaga atau bekerja kantoran. Bagi mereka, bekerja ya mengemis itu. Saat mi modus operandi mengemis pun sudah sangat beragam mulai dan cara yang paling konvensional hingga dengan mengekspolitasi keluguan anak-anak balita. Amat mudah menjumpai ibu-ibu yang menggendong ‘bayi sewaan’ mengemis di perempatan-perempatan jalan di kota-kota besar. pengemis dewasa yang menggendong anak. Bahkan sekarang, preman-preman pun mulai mengemis dengan alasan belum makan, baru keluar dari penjara hingga beralasan perlu ongkos untuk pulang kampung, dll.
Sudah begitu, pertambahan jumlah pengemis seperti pertumbuhan sistem sel saja. Seorang pengemis jalanan mengaku ke Jakarta sengaja untuk menjadi pengemis karena diajak teman sekampung yang telah terlebih dahulu menjalani profesi yang sama. Bayangkan jika tren itu terus berjalan berapa banyak pengemis-pengernis baru yang akan datang ke kota-kota besar.
Atas fenomena itu, berkembang tiga opini dan sikap di masyarakat. Pertama, opini bahwa pengemis harus dihilangkan dari jalan-jalan, bus kota dan tempat-tempat yang selama mi menjadi pos-pos strategis di mata para pengemis. Kedua, pendapat yang memandang fenomena itu sebagai suatu yang wajar sebagai dampak dan kemiskinan yang selama ini semakin menggurita. Dan ketiga, mereka yang berdiri di pertengahan antara keduanya.
Mereka yang berdiri pada sikap pertama khawatir jika profesi mengemis ditolerir jumlah orang yang memilih berprofesi sebagai pengemis akan terus bertambah, apalagi jika melihat trend. Jika sudah demikian, dalam sudut pandang mereka, berarti mentolerir sikap malas dan anti berkarya. Mereka ini biasanya tak memberi uang kepada pengemis dengan alasan itu, bukan karena pelit. Mereka cenderung mendonasikan amal shadaqah kepada lembaga-lembaga pengumpul zakat atau langsung ke pintu orang yang memang benar-benar memerlukan bantuan tapi malu untuk menjadi pengemis karena prinsip agama yang sebenarnya tak mentolerir seorang untuk menjadi pengemis.
Sementara itu, mereka yang berdiri pada sikap kedua mencoba bersikap positive thinking bahwa pengemis yang meminta minta itu sebagai manusia yang di identifikasi sebagai mereka yang betul-betul memerlukan bantuan meskipun dalam kenyataannya tidak demikian. Mereka yang bersikap di pertengahan, biasanya memilih pengemis menjadi dua: pengemis yang patut diberi dan pengemis yang tidak patut untuk diberi. Terlepas dan sikap mana yang dipilih, siapapun pasti sepakat jika lingkungan kita bersih dan polusi peminta-minta. Sudah selayaknya simbol kemiskinan itu dihapuskan, apalagi jika simbol itu sudah disalahgunakan demi kepentingan sindiket-sindikat Gepeng (Gelandangan dan Pengemis) yang memayungi aktivitas mereka.
Lalu bagaimana cara menghapusnya? Tentu tidak cukup dengan penertiban yang dilakukan oleh para petugas Dinas Bintal Kesos. Mereka yang berdiri pada opini pertama memberi solusi, jika seluruh orang sepakat dengan opini mereka untuk tidak memberi uang kepada peminta-minta otomatis pendapatan profesi pengemis akan merosot tajam sehingga profesi sebagai pengemis perlahan-lahan akan ditinggalkan. Jika ingin berderma langsung saja ke rumah Si fakir yang betul-betul memerlukan bantuan. Lagi pula interaksi langsung antara Si penderma dan penerima derma yang memang benar-benar memerlukan akan meninggalkan bekas mendalam. Mengetahui kondisi fakir miskin akan menimbulkan rasa Syukur dan ikhlas dalam memberikan shadaqah. Intinya pengemis bukan untuk dipelihara. Namun semua berpulang kepada sikap individu masing-masing untuk berdiri pada sikap pertama, kedua atau pertengahan di antara keduanya.
Di sisi lain, negara yang dalam UUD disebut-sebut bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyatnya juga harus berfikir keras agar kemiskinan bisa terangkat dan siapapun yang menjadi warga negaranya, tidak lantas diam melihat pengemis-pengemis yang menjadi simbol kemiskinan menjamur di mana-mana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar