Keyakinan, bagi saya adalah sebuah penemuan. Bukan paksaan.
Berkali-kali sudah saya dilempari nasehat dari mana-mana.
“Hanya dengan sholat dirimu akan tenang!”
Saya diam. Saya mencoba menghabisi bertahun-tahun hidup saya untuk meraihnya. Hingga sajadah adalah rumah utama saya. Setiap waktu setiap malam, saya menangis. Menikmati mijraj spiritual diatas sajadah. Hingga hidup saya sangat terbatas. Terkurung dalam kesunyian yang panjang.
Apakah akhirnya saya berhasil meraih ketenangan yang itu?
Jujur, akhirnya saya sadar.
Ternyata ketanangan yang saya dapatkan itu, yang saya elu-elukan itu hanya sebuah placebo. Sebuah morfin pikologis. Tenang yang ditenang-tenangkan. Tapi aslinya, saya tetap hidup gelisah. Hanya saja kegelisahan itu saya kurung rapat-rapat. Dari segala keluh kesah. Dari segala masalah real dalam hidup saya sehari-hari. Sedang semua masalah, segala ketidakberdayaan saya saat itu, tidak pernah usai. Dan semakin kuat goncangan itu membombardir saya, maka saya pun semakin mengkhusukkan diri dalam sholat dan do’a. Dalam rintihan dan ratapan sunyi pada Tuhan.
Tapi akhirnya,
Saya bosan sendiri. Bathin saya menjerit. Mual.
Saya kemudian berlari. Membunuh tuhan sambil menyebut namaNya.
Tanpa sholat tanpa do’a. Saya membelah dada. Melempari semua dogma.
Mencampakkan semua infeksi kotbah mulia yang sudah merampas kemerdekaan hidup saya.
Saya menjelajah kemana-mana. Tanpa pergerakan fisik.
Tapi permenungan saya gentayangan hingga ke langit ketujuh.
Munghujat agama, mengkiritisi kenabian dan menjungkirbalikan hegemoni Tuhan.
Maka akhirnya, runtuhlah segala klaim.
Robohlah segala legitmasi absolut dalam diri saya.
Dinding keyakinan yang saya pelihara sebelumnya tumbang, rata dengan tanah.
Hingga yang tersisa adalah keraguan yang mendasar.
Dan diatas keraguan itulah saya mulai membangun kedirian saya.
Dan diatas ketidakpercayaan itulah saya mulai menemukan keyakinan.
Ternyata,
Tidak ada yang namanya keyakinan tanpa melewati jembatan yang bernama keraguan.
Dan tidak akan pernah saya temukan sebelum saya menghirup udara yang bernama kebebasan; Kebebasan untuk berpetualang. Kebebasan dalam penjelajahan pikiran.
Kebebasan untuk merewang secara bathin. Tanpa dogma tanpa nasehat yang memaksa.
Dan apapun hasilnya, ternyata jauh lebih berharga. Jauh lebih nikmat dari seruan agama besar yang saya aminkan tanpa protes sebelumnya.
Dengan kata lain,
Saya menelanjangi diri sehabis-habisnya.
Hingga yang tersisa adalah diri saya sendiri.
Diri yang otentik tanpa campur tangan dogma agama.
Tanpa ratapan dan rengekan pada Tuhan.
Saya mengaminkan diri ini apa adanya.
Telanjang bebas. Pure!
Itulah saat saya menemukan diriku
Itulah sorga saya yang hilang.
Sorga yang saya cari kemana-mana.
Ternyata sorga itu ada dalam diri saya sendiri.
Ternyata keyakinan itu pabriknya ada dalam diri saya sendiri.
Dan saya bebas menemukan, mengganti dan membangunnya sendiri.
Berkali-kali sudah saya dilempari nasehat dari mana-mana.
“Hanya dengan sholat dirimu akan tenang!”
Saya diam. Saya mencoba menghabisi bertahun-tahun hidup saya untuk meraihnya. Hingga sajadah adalah rumah utama saya. Setiap waktu setiap malam, saya menangis. Menikmati mijraj spiritual diatas sajadah. Hingga hidup saya sangat terbatas. Terkurung dalam kesunyian yang panjang.
Apakah akhirnya saya berhasil meraih ketenangan yang itu?
Jujur, akhirnya saya sadar.
Ternyata ketanangan yang saya dapatkan itu, yang saya elu-elukan itu hanya sebuah placebo. Sebuah morfin pikologis. Tenang yang ditenang-tenangkan. Tapi aslinya, saya tetap hidup gelisah. Hanya saja kegelisahan itu saya kurung rapat-rapat. Dari segala keluh kesah. Dari segala masalah real dalam hidup saya sehari-hari. Sedang semua masalah, segala ketidakberdayaan saya saat itu, tidak pernah usai. Dan semakin kuat goncangan itu membombardir saya, maka saya pun semakin mengkhusukkan diri dalam sholat dan do’a. Dalam rintihan dan ratapan sunyi pada Tuhan.
Tapi akhirnya,
Saya bosan sendiri. Bathin saya menjerit. Mual.
Saya kemudian berlari. Membunuh tuhan sambil menyebut namaNya.
Tanpa sholat tanpa do’a. Saya membelah dada. Melempari semua dogma.
Mencampakkan semua infeksi kotbah mulia yang sudah merampas kemerdekaan hidup saya.
Saya menjelajah kemana-mana. Tanpa pergerakan fisik.
Tapi permenungan saya gentayangan hingga ke langit ketujuh.
Munghujat agama, mengkiritisi kenabian dan menjungkirbalikan hegemoni Tuhan.
Maka akhirnya, runtuhlah segala klaim.
Robohlah segala legitmasi absolut dalam diri saya.
Dinding keyakinan yang saya pelihara sebelumnya tumbang, rata dengan tanah.
Hingga yang tersisa adalah keraguan yang mendasar.
Dan diatas keraguan itulah saya mulai membangun kedirian saya.
Dan diatas ketidakpercayaan itulah saya mulai menemukan keyakinan.
Ternyata,
Tidak ada yang namanya keyakinan tanpa melewati jembatan yang bernama keraguan.
Dan tidak akan pernah saya temukan sebelum saya menghirup udara yang bernama kebebasan; Kebebasan untuk berpetualang. Kebebasan dalam penjelajahan pikiran.
Kebebasan untuk merewang secara bathin. Tanpa dogma tanpa nasehat yang memaksa.
Dan apapun hasilnya, ternyata jauh lebih berharga. Jauh lebih nikmat dari seruan agama besar yang saya aminkan tanpa protes sebelumnya.
Dengan kata lain,
Saya menelanjangi diri sehabis-habisnya.
Hingga yang tersisa adalah diri saya sendiri.
Diri yang otentik tanpa campur tangan dogma agama.
Tanpa ratapan dan rengekan pada Tuhan.
Saya mengaminkan diri ini apa adanya.
Telanjang bebas. Pure!
Itulah saat saya menemukan diriku
Itulah sorga saya yang hilang.
Sorga yang saya cari kemana-mana.
Ternyata sorga itu ada dalam diri saya sendiri.
Ternyata keyakinan itu pabriknya ada dalam diri saya sendiri.
Dan saya bebas menemukan, mengganti dan membangunnya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar