Seorang ayah pernah menasihati
anak laki-lakinya yang suka marah-marah dan bete dengan orang lain. Lalu, anak
Iaki-lakinya tersebut diajak ke kandang kudanya yang ada di sebelah rumah.
Setibanya di tepi kandang kuda, ayahnya mengatakan, Anakku, jika engkau
marah maka tanamkan sebatang paku ke pagar mi. Semakin engkau marah, engkau
pukul paku itu keras-keras. Begitu seterusnya.”
Sejak saat itu, jika sang anak
marah kepada siapa pun, dia selalu memukul sebatang paku pada pagar kandang
kudanya, dan dia sangat senang mampu melakukan hal itu. Sebulan kemudian,
dengan bangga si anak menunjukkan kepada orangtuanya bahwa paku-paku yang
ditanamkan pada pagar kandang kudanya sudah semakin banyak. Lalu, si ayah
kemudian mengatakan, “Nah, sekarang kalau kau bisa menahan marah dan tidak
jadi marah, bahkan bisa meminta maaf kepada orang lain, cabut paku-paku
tersebut satu per satu. Begitu seterusnya!’ Menerima tantangan tersebut,
dengan mantap si anak mengatakan, Oke!”, tanpa tahu apa maksud yang d
iberi kan ayahnya
tersebut.
Sebulan kemudian, ayahnya
bertanya, “Adakah paku yang sudah dicabut? Dengan mantap si anak
menjawab, “Sudah semua, Pak!”. Lantas ayahnya ingin melihat ‘hasil
karya” si anak ke pagar kandang kudanya. Di pagar kandang kuda tersebut, ayahnya
mengatakan bahwa memang semua paku sudah tercabut, namun meninggalkan bekas lubang yang terlihat jelas. Hal itu
berarti ketika kita memarahi seseorang, akan menanamkan luka yang dalam pada
diri orang yang dimarahi tersebut. Bahkan, jika kemudian kita merninta maaf
(mencabut kembali paku tersebut), hal itu tetap meninggalkan luka yang
menganga.
Adapted from “Sulfilling
Life”, by Parlindungan Marpaung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar