Sebuah mitos yang hingga saat ini masih dianggap relevan oleh sebagian masyarakat di Indonesia pernah dipertanyakan relevansinya. Dalam seminar bertema “Pengaruh Komik terhadap Minat Baca dan Imajinasi” para narasumber dan berbagai unsur yang cukup representatif: dan kalangan pendidik, psikolog dan budayawan ‘menggugat’ mitos yang menempatkan komik sebagai bacaan yang tabu atau bahkan “diharamkan” bagi anak-anak itu. “Jangan baca komik, nanti kecanduan,” atau “Jangan baca komik, nanti malas belajar,” begitu mitos kiasik yang masih terdengar. Tak sedikit orang tua yang menyita, merobek-merobek bahkan hingga membakar komik-komik yang tertangkap tangan dibaca atau disimpan oleh anak-anak mereka gara-gara terpengaruh mitos tersebut. Begitu pula para guru yang ‘membumihanguskan’ komik-komik yang kedapatan tangan dibaca oleh murid-murid mereka.
Ketika membuka kembali lembaran-lembaran ‘lawas’ yang berisi catatan-catatan, tampaknya topik yang sama masih relevan untuk dikemukakan kembali mengingat saat ini mitos tersebut masih beredar dan menjadi acuan bagi para orang tua. Sementara itu di sisi lain, toko-toko buku kebanjiran berbagai buku komik yang jenisnya semakin beragam, terutama komik-komik luar negeri yang kemudian diterjemahkan oleh penerbit-penerbit lokal. Mereka, bahkan, menyediakan space khusus bagi bacaan khusus anak-anak dan jenis komik itu. Melihat fenomena ini adakah telah terjadi pergeseran sudut pandang terhadap komik sehingga toko-toko buku seperti Gramedia membuat kebijakan semacam itu?. Atau, apakah ini juga menjadi pertanda bahwa mitos tadi sudah mulai pudar? Ada bagusnya kita urai dan analisa barang sekejap.
Periksa punya periksa, atas dasar tadi, pada umumnya para narasumber percaya bahwa ditinjau dan sisi positifnya, komik bermanfaat meningkatkan minat baca dan daya imajinasi anak-anak. Misalnya, bahwa anak-anak mengenal konsep keseimbangan milik filosofi China melalui komik Kura-Kura Ninja. Atau seluk beluk cerita Mahabharata justru bukan dan buku-buku pelajaran di sekolah melainkan dan komik Mahabharata.
Dekade tahun 1980-an, sebagian besar siswa SMP di Jakarta pernah diwajibkan membeli buku komik bertema perjuangan “Serangan Umum 1 Maret” yang disponsori oleh Depdiknas. Atas dasar banyak pengalaman pembacanya, komik perjuangan itu dianggap begitu sangat berbicara dan memberikan ilustrasi yang lebih jelas bagi para siswa untuk mengetahui seluk beluk peristiwa heroik di Yogya itu ketimbang jika membaca buku teks PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa, sekarang Pelajaran Sejarah) yang sarat dengan hafalan, tanggal dan nama-nama pelaku itu. Siswa yang membacanya seolah diajak menonton film sehingga merasa menyaksikan peristiwa yang diceritakan dan digambarkan oleh komik itu.
Jika begitu, lalu apa masalahnya Sehingga mitos anti komik masih beredar. Apa yang dikhawatirkan sebagian orang tua jelas bukan jenis komik-komik perjuangan seperti itu, apalagi komik semacam itu direkomendasikan oleh Depdiknas, melainkan komik-komik seperti Batman, Superman, atau komik-komik Jepang yang sejak tahun 1995 mulai membanjiri Indonesia Seperti Doraemon, Sailormoon dan kini Sinchan hingga Kungfuboy (Chin Mi). Juga komik-komik yang diterbitkan jagoan industri komik dunia Walt Disney dengan Mickey Mouse, Donald Duck, Goofy, Paman Gober dan sebagainya.
Intinya komik yang full hiburan, menuntut kaca mata orang tua atau bahkan pendidik. Memang betul bahwa, tak bisa ditolak bahwa komik bisa punya pengaruh buruk., komik bisa membuat anak terpesona dan mempraktikkan adegan kekerasan yang dilakukan para jagoan di komik, atau adegan porno. Bahkan saat ini beredar komik Jepang (tentu saja sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia ) yang menyelipkan gambar kartun berbau pornografi. Komik jenis ini jelas harus dijauhi oleh anak-anak.
Jika ingin dicari jalan tengah, okelah komik-komik yang isinya mengajarkan ketidakpatutan bersikap sebaliknya dihindari untuk dibaca anak-anak, seperti yang pernah diprotes konsumen terhadap komik dan pemutaran film kartun Sinchan yang dianggap mengajarkan sikap ‘kurang ajar’ kepada orang tua. Namun apa dosa komik-komik seperti Batman, Superman, Dick Tracy, Tintin, hingga Asterix sehingga harus ‘diharamkan’. Tidak fair juga jika penolakan terhadap komik-komik asing itu dengan mengemukakan alasan anak-anak kehilangan jati dirinya sebagai orang Indonesia karena akan lebih mengidolakan Superman ketimbang Gatot Kaca yang jagoan Indonesia . Pasalnya, komik-komik lokal yang menampilkan tokoh-tokoh seperti Gatot Kaca justru tak berkembang. Lagi pula jika mau ditelusuri lebih dalam, meskipun telah menjadi ikon budaya Jawa, tokoh wayang Gatot Kaca bukan tokoh asli Indonesia, melainkan tokoh yang disadur dan cerita Bharatayuda dan India.
Jadi, dapat disimpulkan sementara adalah tergantung bagaimana anak, tentu saja atas bimbingan orang tua dan pembina mereka, memanfaatkan komik-komik itu. “Komik tak mampu berdosa atau berjasa tanpa ada yang merespons dengan menentukan porsi waktu (timing) yang tepat dalam membaca komik. Tak bijaksana juga jika membiarkan anak-anak membaca komik di waktu belajar atau terlalu banyak membaca komik ketimbang membaca buku pelajaran. Sebagai perbandingan, ada baiknya mengetahui apa yang terjadi di dunia pendidikan Jepang, khasnya berkaitan dengan polemik perkomikan tadi.
Jepang selahu tampil mengejutkan. Setelah sukses dengan ekspor mobil, mainan (seperti tamiya dan tomagochi) hingga perangkat elektronikanya, Jepang juga sukses membanjiri dunia (khususnya di Indonesia) dengan komik-komik Jepang dengan tokoh Chin Mi (Kungfu Boy), Kapten Tsubasa, Doraemon, Sailormoon, dan sebagainya yang bahkan kemudian dibuat film kartunnya.
Tentu ada sebab sehingga dunia perkomikan Jepang begitu besar (tapi jangan dulu dibandingkan dengan apa yang sudah dikerjakan oleh Walt Disney). Ternyata masyarakat menempatkan komik sebagai variabel penting. Mango, begitu orang Jepang menyebut komik, menyentuh hampir semua aspek kehidupan.
Lantas, para guru di Jepang justru tak menabukan manga masuk ke ruangan kelas. Pada hari-hari tertentu, bahkan para siswa SD diminta membawa komik kesayangan mereka. Di kelas, mereka membincangkan komik bersama sambil menari, mendongeng dan berkeliling alam terbuka. Aihasil, guru bisa menanamkan nilai-nilai moral dan pengetahuan, tanpa si murid sadar bahwa mereka sedang belajar. Ternyata, aktivitas semacam itulah yang merangsang kreativitas, minat baca dan daya imajinasi anak-anak Jepang.
Jika demikian adanya, perlu diambil jalan tengah antara mitos dan sisi positif pada komik tadi. Artinya, sudah bukan masanya lagi memvonis komik sebagai bacaan yang penuh caci maki, sebab padanya ada juga sisi baik. Sebalikiiya keputusan memberi peluang kepada anak-anak untuk diberi kesempatan membaca komik pun harus dalam koridor dan sistem yang jelas Sehingga tidak menjadi kebebasan yang tidak bertanggung jawab. Lupa belajar karena komik, atau salah membaca komik yang seharusnya tidak dibaca oleh mereka. Persoalan komik sepertinya remeh temeh, tapi rasanya perlu dicermati dengan seksama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar