Untuk mencari model yang tepat untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia , seiring dengan reformasi politik, dilakukan reformasi pendidikan atau perubahan pengelolaan pendidikan. Upaya perubahan tersebut telah melahirkan konsep dasar pengeloalaan pendidikan yang diberi nama Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
MBS dapat diartikan sebagai model pengelolaan yang memberikan otonomi (kewenangan dan tanggung jawab) lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas/keluwesan-keluwesan kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan) dan masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat, ilmuan, pengusaha dan sebagainya), untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan otonomi tersebut, sekolah diberikan kewenangan dan tanggung jawab untuk mengambil keputusan-keputusan sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan tuntutan sekolah dan masyarakat atau stakeholder yang ada.
Dengan demikian sekolah memiliki kemandirian lebih besar dalam mengelola sekolahnya (menetapkan sasaran peningkatan mutu, menyusun rencana peningkatan mutu, melaksanakan rencana peningkatan mutu, dan melakukan evaluasi pelaksanaan peningkatan mutu), memiliki fleksibilitas pengelolaan sumber daya sekolah, dan memiliki partisipasi yang lebih besar dari kelompok-kelompok yang berkepentingan dengan sekolah.
MBS bertujuan untuk meningkatkan kinerja sekolah melalui pemberian kewenangan dan tanggung jawab yang lebih besar kepada sekolah yang dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola sekolah yang baik yaitu partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas. Peningkatan kinerja sekolah yang dimaksud meliputi peningkatan kualitas, efektivitas, efesiensi, produktivitas, dan inovasi pendidikan beserta uraiannya termasuk kinerja sekolah.
Karaktristik MBS memuat secara inklusif elemen-elemen sekolah efektif, yang dikatagorikan menjadi input, proses, dan output. Dalam tinjauan yang lebih luas, konsep dasar pola MBS memandang sekolah sebagai sistem yang terdiri/tersusun dari komponen konteks, input, proses, output dan outcome.
Pada tataran konsep (teori) MBS, sebagaimana telah dipaparkan di atas, memberikan harapan yang tinggi bagi satuan pendidikan untuk dapat meningkatkan mutu pendidikan melalui otonomi yang dimilikinya. Tetapi dalam pelaksanaannya, kemandirian yang telah dihajatkan dalam teori tersebut menuai banyak kendala, tidak semulus yang dibayangkan. Faktor penyebab tersumbatnya saluran menuju peningkatan kualitas pendidikan tersebut adalah adanya kebijakan pemerintah tentang sekolah gratis dan kebijakan politik tentang pemberlakuan otonomi daerah. Kedua hal ini menyebabkan elemen-elemen dan komponen-komponen MBS tidak mampu diterapkan secara optimal.
Dengan adanya slogan sekolah gratis yang disampaikan melalui media cetak dan elektronik, telah menyebabkan terbangunnya konsep pada diri masyarakat (orangtua peserta didik) bahwa semua pelaksanaan atau pengelolaan pendidikan dari A sampai Z harus gratis dan tidak boleh membebani orangtua peserta didik dengan biaya atau pungutan apapun. Kondisi ini semakin mengakar dan menguat dalam pikiran masyarakat, yang dipicu oleh adanya pandangan (lisan maupun tulisan) dan kebijakan dari pemerintah daerah dengan menjadikan kebijakan sekolah gratis sebagai “konsumsi politik”, dan penerapan kebijakan pemberiaan dana bantuan siswa miskin (BSM) yang ternyata tidak dapat diberikan secara merata, tidak sesuai dengan jumlah peserta didik miskin yang membutuhkan atau siswa yang dapat dana bantuan selalu lebih kecil dari yang seharusnya. Kenyataan ini tentu saja semakin mengaburkan makna dari sekolah gratis yang sesungguhnya. Sehingga pengelola satuan pendidikan menjadi “takut” dan merasa “risih” untuk berbuat dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di sekolah yang dikelolanya. Seakan-akan meminta sumbangan kepada orangtua siswa atau masyarakat menjadi suatu hal yang “tabu” dan “haram”. Oleh karena itu, menggerakkan partisipasi masyarakat (PSM), baik yang bertalian dengan masalah material maupun yang berhubungan dengan partisipasi yang lebih luas, mengalami banyak kendala atau tantangan. Kendala ini semakin terasa berat bagi sekolah yang berada di daerah tertinggal dan pinggiran, dengan kondisi masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan dan tingkat perekonomian yang rata-rata rendah. Pada hal pengalaman sekolah-sekolah yang maju, menempatkan PSM yang tinggi sebagai salah satu point penting dalam memajukan dan meningkatkan mutu layanan satuan pendidikannya.
Dampak lain yang timbul dari adanya kebijakkan tersebut, sekolah tidak atau kurang mampu melaksanakan aspek kewirausahaan yang dipersyaratkan. Karena adanya pembatasan, koperasi sekolah tidak dapat melakukan fungsi sebagaimana mestinya, dan kondisinya berada pada tingkat “mati suri”. Ketidak mampuan melakukan kegiatan kewirausahaan, banyak ditemukan pada satuan pendidikan yang berada di wilayah tertinggal dan pinggiran, dimana sektor dunia usaha/dunia industri (DU/DI) tidak mendukung atau tidak ada yang dapat dijadikan mitra yang dapat mendukung peningkatan mutu pendidikan.
Kebijakan pemerintah pusat dan daerah tersebut, tidak diikuti dengan penyediaan dana yang cukup untuk memenuhi semua kebutuhan sekolah, dan tidak memberikan fasilitas yang merata ke semua satuan pendidikan. Banyak sekolah yang keadaan fisiknya memperihatinkan dan tidak memiliki fasilitas yang sesuai dengan tuntutan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sesungguhnya dalam amanat perundang-undangan dan ketentuan tertulis lainnya yang berlaku di negeri ini, telah dipaparkan secara tegas tentang makna yang sebenarnya dari kebijakan sekolah gratis. Dalam peraturan tertulis itu pula telah ditetapkan garis pembatas yang jelas tentang kewajiban pendanaan pendidikan atau kewajiban memfasilitasi yang harus dipenuhi oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Keadaan di atas apabila dibiarkan berlangsung terus-menerus tanpa ada penyelesaian yang semestinya, tentu akan sangat berbahaya bagi kelangsungan pendidikan di masa depan. Persepsi masyarakat yang keliru dalam memaknai kebijakan tentang sekolah gratis, tidak kalah penting dan mendesak untuk segera diluruskan, tidak dibiarkan mendarah daging dalam diri masyarakat. Tidak akan ada dan tidak mungkin pendidikan yang bermutu diperoleh dengan biaya seadanya dan serba gratis. Menjadi sangat tidak mungkin lagi mana kala kita menyadari bahwa kita telah hidup diera gelobalisasi dan persaingan, yang tentu saja tantangan dan tingkatannya akan semakin besar dan sulit di masa depan.
Nampaknya kita sepakat bahwa untuk menghasilkan pendidikan yang bermutu dan dapat diandalkan dalam era gelobalisasi dan persaingan dewasa ini dan di masa depan, perlu dibangun tentang kesadaran dan kemauan berbuat dari semua pengelola dan stakeholder pendididikan, serta harus didukung oleh adanya rasa memiliki pendidikan itu sendiri sebagai asset masa depan yang diwujudkan dalam bentuk pemenuhan kewajiban masing-masing, sehingga hak menjadi jelas diterima dan bermakna dalam kehidupan. Ini bukan berarti mengebiri hak-hak peserta didik yang miskin dalam memperoleh pendidikan. Mereka tentu saja tidak ikut diwajibkan atau dibebani dalam membiayai operasional sekolah melalui PSM. Ini menjadi kewajiban pemerintah pusat dan daerah untuk memenuhinya secara merata dan menyeluruh sesuai dengan jumlah yang seharusnya mendapat bantuan dana pendidikan.
Berangkat dari kerangka berpikir di atas, untuk dapat meningkatkan mutu pendidikan secara signifikan dan optimal, maka konsep tentang sekolah gratis perlu dikaji ulang, pemerintah pusat dan daerah tidak setengah-setengah dalam menerapkan kebijakan, disamping memenuhi kewajibannya untuk memberikan dana dan fasilitas secara merata (penuh) dan berkeadilan kepada semua satuan pendidikan. Sepangjang kewajiban tersebut tidak dapat dipenuhi sebagaimana mestinya, PSM dalam rangka pelaksanaan MBS tetap menjadi pilihan alternatif. Pilihan ini bahkan semakin dibutuhkan, mengingat bahwa pada kenyataannya pemerintah memiliki keterbatasan pendanaan. Sehingga untuk dapat memenuhi kewajibannya tersebut, terasa sulit untuk dapat dipenuhi. Oleh karena satuan pendidikan tidak seharusnya “diinterfensi” untuk tidak diperbolehkan sama sekali dalam menggerakkan PSM. “Tekanan” yang dilakukan seharusnya feleksibel dan tidak mematikan usaha untuk melakukan inovasi di sekolah, mengingat PSM diperbolehkan dalam peraturan tertulis dan merupakan aspek penting dalam keterlaksanaan MBS secara optimal. Tetapi satuan pendidikan dalam melakukan terobosan untuk melibatkan PSM dalam rangka mengelola dan membangun pendidikan yang bermutu dan berdaya saing, harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi di sekitar satuan pendidikan itu sendiri. Sehingga semua pihak menjadi kondusif dan tidak merasa dirugikan. Dengan kata lain, langkah yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan.
1 komentar:
Sip..,Good Posting ..
Posting Komentar